Titik dan Harakat Al-Qur’an dari Abu al-Aswad hingga al-Khalil bin Ahmad

Pada mulanya, huruf-huruf Al-Qur'an tertulis tanpa titik dan harakat. Kendati demikian, para sahabat dan tabi’in tidak merasa kesulitan saat membacanya, karena mereka adalah para huffāz yang langsung menerima bacaan Al-Qur’an dari Rasulullah dengan riwayat yang sempurna. Akan tetapi, permasalahan baru muncul pasca para penghafal Al-Qur’an tersebut satu persatu mulai berguguran hingga berdampak pada kekeliruan bacaan. Hal itu berlangsung cukup lama hingga pada masa Abu al-Aswad al-Du’ali.

Melihat fenomena kekeliruan dalam bacaan Al-Qur’an yang semakin marak, Abu al-Aswad al-Du’ali pun mengambil inisiatif untuk memberi tanda-tanda dalam penulisan Al-Qur'an. Atas izin Khalifah yang berkuasa pada zamannya, ia membuat terobosan dengan merumuskan harakat pada tiap-tiap huruf berupa tanda titik dengan warna yang berbeda dari tulisan huruf mushaf itu sendiri. Ia merumuskan tanda titik yang ditulis di atas untuk harakat fathah, titik di bawah untuk harakat kasrah, titik di samping untuk harakat damah dan dua titik untuk tanwin.

Tak cukup disitu, titik yang dirumuskan oleh Abu al-Aswad al-Du’ali adalah titik tanda baca berupa fathah, kasrah dan damah, bukan titik huruf yang menjadi pembeda antara satu huruf dengan huruf yang lain. Oleh karenanya, masih terdapat kerancuan saat membaca tulisan Arab dalam mebedakan antara huruf yang bentuknya mirip.

Maka, dalam salah satu riwayat diceritakan, pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, ada dua tokoh yang dikenal sebagai penerus Abu al-Aswad al-Du’ali, yaitu Nashir bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur. Keduanya menambahkan tanda titik untuk huruf-huruf yang memiliki bentuk yang mirip. Tanda titik tersebut warnanya disamakan dengan huruf al-Qur’an agar tidak rancu dan dapat dibedakan dengan titik harakat yang telah dirumuskan oleh Abu al-Aswad al-Du’ali sebelumnya.

Walhasil, jika titik Abu al-Aswad adalah harakat yang menjadi tanda baca antara fathah, kasrah dan damah, maka titik yang dirumuskan oleh Nashir bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur ini adalah titik huruf yang menjadi pembeda antara satu huruf dengan huruf yang lain.

Cara penulisan semacam ini berlaku cukup lama pada masa Dinasti Umayyah. Pemberian tanda titik sebagai harakat dan sebagai pembeda huruf nyatanya masih membuat orang Arab merasa kesulitan membedakan keduanya. Kendati warnanya berbeda, namun tetap saja terdapat kerancuan, apalagi jika mushaf yang digunakan sering dipakai hingga membuat warna titik yang mulanya berbeda berubah menjadi sama. Belum lagi mereka merasa kesulitan jika harus menuliskannya dengan dua warna.

Tak lama setelah itu, muncullah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih. Al-Khalil mengambil inisiatif untuk membuat tanda-tanda yang baru, yaitu, ia terlebih dahulu menyempurnakan titik pembeda huruf yang telah dirumuskan oleh Nashir bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, lalu ia mengganti syakal titik yang telah dirumuskan oleh Abu al-Aswad dengan syakal huruf kecil yang diletakkan di atas dan di bawah huruf. Jika fathah maka diberi tanda alif kecil di atas huruf, jika kasrah maka diberi tanda ya’ kecil di bawah huruf, dan jika damah, maka diberi wawu kecil diatas huruf.

Penulisan tanda huruf kecil sebagai harakat oleh al-Khalil al-Farahidi ini mulanya mendapatkan pertentangan dari kalangan ulama, khususnya para ulama Qiro’ah, dengan dalih al-Khalil telah membuat perkara yang baru dan hendak mengotak-atik apa yang telah dirumuskan oleh Abu al-Aswad al-Du’ali. Meski demikian, kebutuhan terhadap bacaan Al-Qur’an yang tepat terus meningkat seiring banyaknya orang yang keliru dalam membacanya. Hingga pada akhirnya, rumusan al-Khalil ini disempurnakan kembali oleh ulama-ulama setelahnya, barulah setelah itu dipatenkan penggunaannya dalam mushaf Al-Qur’an seiring perkembangan jenis-jenis khat Arab hingga saat ini.

 

 

Sumber:

Abu Sa’id al-Sairafi, Akhbār al-Naḥwīyīn al-Baṣrīyīn.

Yusuf al-‘Isy, Qiṣṣah Abqarī.