Bahasa Arab merupakan bahasa tua yang digunakan sejak ratusan tahun sebelum Al-Qur’an diturunkan bersama risalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Bahasa Arab menjadi bahasa yang eksis di kalangan orang-orang Arab pra-Islam. Penggunaannya tidak hanya sebagai media komunikasi, tapi juga sebagai media susastra dengan tujuan (aqrāḍ) yang bermacam-macam.
Kendati demikian, keberadaan bahasa Arab sebelum datangnya risalah Islam tidak memiliki kaidah-kaidah tata bahasa yang pakem. Keilmuan bahasa Arab pada masa itu bisa dibilang belum ada perumusan dalam bentuk disiplin keilmuan yang terkodifikasi sebagaimana yang kita kenal saat ini dengan berbagai cabang keilmuannya seperti ilmu nahwu, sharaf, balagah, arudl, dan lain sebagainya. Penggunaan bahasa Arab oleh orang-orang Arab kala itu berdasarkan kepada żauq, malakah atau salīqah yang memang mereka miliki dan tertanam di dalam jiwanya sebagai pemilik bahasanya sendiri sehingga mereka tidak membutuhkan kaidah kebahasaan apapun.
Dalam sejarah kesusastraan Arab, generasi pra-Islam ini termasuk generasi terbaik. Puisi-puisi yang digubah pada masa ini berada pada puncak orisinalitas bahasa dengan gaya dan uslūb terbaik. Hal tersebut dapat dilihat dari karya Mu’allaqāt yang digubah oleh penyair-penyair ternama seperti Umru al-Qais, Zuhair, Tharfah, Antarah, dan yang lainnya.
Eksistensi bahasa Arab semakin diteguhkan oleh datangnya Islam bersama Al-Qur’an. Sebagai bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an, bahasa Arab tidak hanya sebagai bahasa komunikasi, tapi juga sebagai bahasa kitab suci yang mulai dipelajari oleh orang-orang Arab maupun non-Arab. Meski demikian, persebaran bahasa Arab seiring meluasnya dakwah Islam bukan berarti tidak mengalami tantangan. Bahasa Arab pada periode setelah turunnya Al-Qur’an dan rampungnya risalah Islam mulai memasuki babak baru yang disebut masa kemunculan berbagai kesalahan berbahasa (laḥn) sebagai akibat adanya kontak budaya, tradisi dan bahasa dengan orang-orang asing. Nilai orisinalitas bahasa yang digunakan dalam komunikasi pasca adanya kontak tersebut mulai dinilai tidak lagi sama dengan bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Qur’an atau sebagaimana pada masa pra-Islam.
Tergerusnya orisinalitas bahasa Arab dan tersebarnya berbagai alḥān menjadi faktor utama urgensi perumusan keilmuan tata bahasa Arab dengan tujuan menjaga orisinalitas bahasa Al-Qur’an. Maka beberapa kalangan saat itu kemudian menginisiasi ilmu nahwu dan sharaf, hingga ilmu-ilmu balaghah sebagai upaya mencegah meluasnya kesalahan-kesalahan tersebut.
Dalam merumuskan kaidah-kaidah tata bahasa Arab, para founder pada zamannya harus menyeleksi sumber-sumber data linguistik (linguistic data atau ‘aināt/mu’ṭayāt) yang akan dijadikan sebagai model tata bahasa yang orisinal. Tidak semua kalām dan ta’bīr dari orang Arab saat itu dapat menjadi sumber patokan. Ada 4 sumber yang dipilih sebagai sumber data dalam merumuskan kailmuan bahasa Arab. Keempat sumber itu adalah: (1) Al-Qur’an dan Qirā’āt-nya, (2) Hadis, (3) Syair-syair Arab pilihan dari masa Jahili hingga awal Abbasi, dan (4) Prosa-prosa Arab pilihan hingga akhir abad ke-4 Hijriyah. Keempat sumber ini ada yang berbentuk tulisan, ada pula yang melalui riwayat bil-lisān.
Al-Qur’an sebagai sumber data linguistik dalam perumusan kaidah-kaidah tata bahasa Arab oleh Sibawaih dan mayoritas para ulama nahwu sepanjang sejarah baik dari kalangan Basrah maupun Kufah. Al-Qur’an dan qirā’āt-nya memiliki kekuatan orisinalitas karena ketersambungan transmisi dari generasi ke generasi mengharuskan adanya riwayat mutawatir secara makna dan lafaz. Di samping Al-Qur’an itu sendiri sebagai faktor utama pemeliharaan orisinalitas bahasa Arab, para founder tata bahasa Arab meyakini bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab terbaik sebagaimana yang digunakan oleh kalangan Arab Jahili yang sudah berkembang sebelumnya sehingga ia pun dijadikan sumber data utama.
Berbeda dengan Al-Qur’an, hadis nabi tidak banyak yang menggunakannya sebagai data linguistik. Bahkan, para founder ilmu nahwu dari Basrah maupun Kufah pada awal periodenya tidak ada yang menjadikan hadis sebagai data. Hal tersebut karena setidaknya ada beberapa alasan: (1) Adanya kebolehan transmisi periwayatan hadis hanya bil-ma’nā saja dan tidak selamanya harus bil-lafẓ. (2) Bahasa Arab pada redaksi hadis yang diriwayatkan secara turun temurun ditengarai banyak terjadi laḥn yang membuatnya tidak lagi orisinal. Hal itu karena para periwayat hadis banyak yang non-Arab. Mereka menggunakan bahasa Arab bukan sebagai pemilik bahasanya sendiri dengan zauq dan salīqah, melainkan sebagai orang asing (‘ajam) yang memahami bahasa Arab melalui belajar. Meski demikian, pada perkembangan berikutnya, para ulama ada yang mulai menjadikan hadis sebagai data linguistik, di antaranya adalah al-Syathibi, Ibnu al-Dlāi’ dan Abu Ḥayyān al-Andalusi, dengan tetap memberikan kriteria-kriteria tertentu seperti harus berupa hadis mutawatir dan masyhur, hadis yang redaksinya digunakan di dalam ibadah, dan lain sebagainya.
Selain Al-Qur’an dan hadis, sumber yang banyak dijadikan sebagai data linguistik untuk merumuskan keilmuan bahasa Arab adalah puisi atau syair Arab. Tidak semua syair Arab dapat dijadikan sebagai data linguistik. Para ulama memberikan kriteria-kriteria tertentu dalam menyeleksi syair-syair tersebut. Ada 4 tingkatan (ṭabaqāt) penyair Arab berdasarkan rentang waktu yang kemudian menjadi kriteria dipakai atau tidaknya syair-syair mereka sebagai data linguistik: (1) penyair-penyair Jahiliyah seperti Umru al-Qais, A’sya Maimun, Zuhair bin Abi Sulma, dan Tharfah bin al-Abd, (2) penyair-penyair mukhaḍram yang hidup di dua masa, Jahiliyah dan Islam, seperti Labid bin Rabi’ah, Hassan bin Tsabir, Ka’b bin Zuhair (3) penyair-penyair ṣadr al-Islām yang hidup pada awal Islam, seperti Jarir bin Athiyah, Farazdaq dan al-Akhthal, dan (4) penyair muwallad atau muḥdaṡ yaitu penyair pasca ṣadr al-Islām. Seperti Basyar bin Burd, Abu Nuwas, dan lain sebagainya.
Syai-syair karya penyair pada tingkatan pertama dan kedua telah disepakati dapat dijadikan data linguistik (syawāhid). Syair-syair karya penyair pada tingkatan ketiga sebagian ada yang menyepakati dijadikan sebagai data linguistik, dan sebagian yang lain ada yang tidak menyepakatinya. Sedangkan syair-syair karya penyair pada tingkatan keempat, para ulama bahasa dan nahwu menyepakati untuk menolaknya.
Adapun prosa (naṡr), para perumus keilmuan bahasa Arab juga menjadikannya sebagai data linguistik. Prosa itu berupa tulisan, atau berupa perkataan atau orasi orang-orang Arab yang fasih. Kendati demikian. Tak semua prosa dapat dijadikan data. Tetap ada kriteria-kriterianya yang terkadang satu ulama dengan yang lainnya berbeda pendapat.