Kecenderungan manusia sebagai insān hanya ingat kepada Tuhannya di saat-saat yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Ingatnya pun terkadang bukan sebagai bentuk penghambaan kepada-Nya dan kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah dan Tuhan sebagai Penciptanya, namun lantaran ketidak nyamanan yang dirasakannya. Terbukti setelah ketidak nyamanan itu berganti lapang, susah menjadi senang, ia pun kembali lupa kepada Tuhannya.
Manusia sebagai insān memang memiliki kecenderungan untuk lupa. Lupanyanya manusia karena ada sesuatu yang menghalangi dari apa yang semestinya ia ingat. Allah adalah Tuhan yang semestinya manusia selalu mengingatnya dalam keadaan apapun, namun kesenangan dunia terkadang menghalangi untuk mengingat-Nya.
Kecenderungan psikologis (ḥālah nafsīyah) ini digambarkan sangat indah oleh Al-Qur’an dengan ilustrasi nyata menggunakan pendekatan naratif-imajinatif [Yunus: 22]:
هُوَ الَّذِيْ يُسَيِّرُكُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ حَتّٰٓى اِذَا كُنْتُمْ فِىْ الْفُلْكِۚ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيْحٍ طَيِّبَةٍ وَّفَرِحُوْا بِهَا جَاۤءَتْهَا رِيْحٌ عَاصِفٌ وَّجَاۤءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَّظَنُّوْٓا اَنَّهُمْ اُحِيْطَ بِهِمْۙ دَعَوُا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۚ لَىِٕنْ اَنْجَيْتَنَا مِنْ هٰذِهٖ لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ ٢٢
22. Dialah (Allah) yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan (dan berlayar) di lautan sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, lalu meluncurlah (kapal) itu membawa mereka dengan tiupan angin yang baik dan mereka bergembira karenanya. Kemudian, datanglah badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru dan mereka pun mengira telah terkepung (bahaya). Maka, mereka berdoa dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya (seraya berkata), “Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”
Sayyid Qutub dalam al-Taṣwīr al-Fannī menjelaskan bahwa Al-Qur’an memiliki cara-cara estetik dalam mendeskripsikan keadaan psikologis manusia sehingga dapat dipahami dengan baik, bisa dicerna dan diimajinasikan menjadi sesuatu yang lebih nyata dan tidak hanya ada dalam konsep pikiran.
Perhatikan ayat di atas. Ayat itu mengilustrasikan keadaan manusia yang berlayar di tengah lautan dengan kondisi hati yang senang dan bahagia lantaran angin bertiup seimbang membawa kapal kepada tujuannya. Indah, nyaman dan menyenangkan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, seakan waktu yang dimiliki ingin dinikmati sepenuhnya tanpa harus terganggu oleh yang lain. Dalam kondisi stabil seperti itu, tiba-tiba badai menerjang, ombak datang menghantam, dan angin membawanya tak tentu arah hingga nyaris tenggelam. Seketika kondisi psikologis penumpangnya menjadi kalut. Rasa takut dan khawatir tak dapat dihindari. Pada saat itulah, mereka ingat kepada Tuhannya: “Jika Engkau (Tuhan) menyelamatkan kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”
Ilutrasi yang dimainkan dalam ayat tersebut dan detail alur yang dihadirkan sebenarnya untuk menggambarkan betapa manusia memiliki kecenderungan lupa kepada Allah sebagai Tuhan di saat senang, dan akan mengingat-Nya ketika tertimpa musibah. Ilustrasi itu seharusnya membuat kita sadar dalam mengarungi kehidupan. Dalam konteks-konteks yang berbeda kita pasti mengalami hal serupa. Adakalanya kita berada dalam kondisi yang membuat hati senang dan nyaman, adakalanya pula musibah menimpa sehingga sedih dan susah tak terelakkan. Coba rasakan dan bayangkan bagaimana Allah menyindir kita melalui ilustrasi tersebut. Pejamkan mata, ikuti alurnya, dan bayangkan bagaimana ilustrasi itu benar-benar terjadi kepada kita.