Setiap ulama memiliki ciri khas dalam kesehariannya. Mereka memiliki tabiat yang terkadang tidak semua orang memilikinya. Bahkan tak jarang di antara mereka ada yang memiliki sikap dan tingkah nyeleneh dalam pergaulannya. Termasuk kisah al-Khalil berikut ini saat ia merumuskan metode baru dalam penulisan tanda harakat Arab.
Tidak seperti biasa, hari itu, al-Khalil al-Farahidi
tiba-tiba menghilang dari keramaian orang-orang di kotanya. Sahabat-sahabatnya kebingungan.
Mereka mencari kemana-mana tapi tidak menjumpainya. Abu al-Ma’la termasuk
sahabat yang ikut mencari keberadaan al-Khalil. Karena penasaran, ia memutuskan
untuk mencari ke rumahnya.
Sesampainya di rumah al-Khalil, Abu al-Ma’la bertanya kepada
seseorang tentang keberadaannya. Orang itu menjawab bahwa biasanya al-Khalil
berangkat pagi-pagi, dan pulang sore hari menjelang petang.
Esok paginya, Abu al-Ma’la sengaja menunggu al-Khalil di
lorong depan rumahnya. Setelah beberapa lama, ia melihat al-Khalil keluar dari
rumahnya sambil berjalan tergesa-gesa. Diam-diam ia mengikutinya dari belakang.
Al-Khalil terus berjalan hingga keluar kota. Tampaknya, ia berjalan tak tentu
arah, seperti orang yang sedang tersesat kebingungan.
Karena penasaran, Abu al-Ma’la menyusul menghampirinya, lalu
menyapanya dengan suara yang keras; tidak mempan, al-Khalil tetap berjalan
dengan lamunan kosong seperti sedang dirundung asmara. Karena jengkel, akhirnya
Abu al-Ma’la menarik lengan al-Khalil hingga membuatnya oleng dan nyaris
terjatuh.
“Kau kah itu, wahai Abu al-Ma’la?” tanya al-Khalil setengah
sadar. “Apa yang membuatmu datang kemari?” lanjutnya.
“Aku melihat dirimu sedang dirundung kerinduan dan cinta
yang dahsyat. Kau terlihat hampa, kering bagaikan gurun. Terbayang jelas, orang
yang kau cintai dalam tebaran debu gurun itu,” jawab Abu al-Ma’la.
“Sudah, jangan begitu, kita tidak sedang bergurau!” timpal
al-Khalil.
“Lalu apa? Bukankah cinta hanya sebuah permainan yang
sia-sia. Ah, maaf. Mereka yang sudah pengalaman akan perihnya cinta melarang
kita terperdaya olehnya. Aku tidak bergurau, ini fakta,” jelas Abu al-Ma’la. Ia
meneruskan dengan pertanyaan, “Jelaskan padaku, siapa wanita yang membuat
dirimu seperti ini?”
“Tidak, aku tidak memiliki kekasih, sungguh!” tegas
al-Khalil.
“Apa engkau ingin tergila-gila seperti Qais al-Majnun?
Katankanlah, siapa kekasihmu?” paksa Abu al-Ma’la.
Al-Khalil pun kebingungan, lalu berkata, “Bukankah aku sudah
bilang. Aku bukanlah seorang pecinta yang sedang mencintai seorang wanita!”
“Jika engkau bukan seorang pecinta yang sedang tergila-gila
kepada seseorang, itu mustahil. Tidak ada orang yang tiba-tiba pergi ke gurun
untuk menyendiri tanpa ada maksud apa-apa, kecuali ia sedang didera asmara.
Apalagi ia sampai mengasingkan diri, bahkan menghilang dari pergaulan
orang-orang.” Abu al-Ma’la menelusuri, ia melanjutkan, “Katakan padaku apa yang
terjadi padamu! Jelaskan hingga aku tidak mengkhawatirkanmu lagi!”
“Apa yang terjadi padaku tidak akan membuatmu bersedih,
apalagi menyusahkanmu!” jelas al-Khalil.
“Tambah bingung aku, bagaimana itu?” Abu al-Ma’la semakin
bingung.
“Apakah setelah aku jelaskan nanti, kau akan pergi?”
“Ya, baik!”
Lalu, al-Khalil mengeluarkan secarik kertas dari sakunya,
dan berkata kepada Abu al-Ma’la, “Bacalah!”
Abu al-Ma’la sedikit kebingungan melihat tulisan yang ada
pada lembaran tersebut. Ia menemukan sebuah tulisan yang terdapat banyak
titik-nya, di atas, di bawah dan di tengah. Karena bingung, ia bertanya, “Apa
ini? Engkau sedang bermain tebak-tebakan atau sedang mengigau?”
“Tidak. Coba perhatikan, huruf yang bentuknya sama,
dibedakan dengan cara diberi tanda titik pada salah satunya. Seperti huruf Jim,
untuk membedakannya dengan huruf Ha’, diberi tanda titik di bawahnya.”
Al-Khalil mencoba menjelaskan.
“Ya, bagus, memang seperti itu!” Abu al-Ma’la mulai tanggap.
“Asal kau tahu saja, dulu, Abu al-Aswad al-Du’ali memberi
harakat fathah, kasrah dan dlammah juga dengan tanda titik, sampai sekarang itu
yang berlaku.” Al-Khalil mulai berteori, ia meneruskan, “Namun, masalahnya,
bagaimana cara membedankan antara tanda titik harakat dengan tanda titik
pembeda huruf? Keduanya sama-sama dibedakan dengan titik.”
“Aku heran, kenapa engkau berpikiran seperti itu?” Abu
al-Ma’la diam sejenak, lalu melanjutkan, “Bukankah keduanya dibedakan oleh
warna khusus. Titik yang menjadi pembeda huruf ditulis dengan warna hitam sama
seperti warna hurufnya, sedangkan titik yang menjadi harakat ditulis dengan
warna merah, hingga keduanya tidak rancu.”
Al-Khalil menyanggahi, “Asal kau tahu saja, aku pergi dari
peredaran orang-orang, menyendiri dan menjauhi keramaian, tidak lain, hanya
untuk mencari solusi yang paling mudah bagi para pelajar, penulis dan pembaca.
Aku ingin apa yang ditulis orang-orang nanti tanpa harus mengubah warna. Itu
terlalu sulit bagi mereka. Tapi aku juga tidak mau mereka kebanyakan menulis
titik, aku khawatir nanti terjadi kerancuan.”
“Engkau telah melakukan perkara bid’ah! Engkau telah keluar
dari apa yang telah ditetapkan oleh para sahabat dalam penulisan Al-Qur’an ini.
Demi Allah orang-orang akan menuduhmu melakukan kesesatan. Sudah, tinggalkan
perkara ini!” Abu al-Ma’la menasehati.
“Aku kan sudah bilang. Hal ini tidak perlu menjadi
persoaalan bagimu. Apa urusanmu?!” Al-Khalil jengkel.
“Ya, tapi engkau itu ngapain memikirkan sesuatu yang tidak
ada manfaatnya, tidak pula mendatangkan pahala!” Cercanya, “Ngapian juga engkau
mencari-cari sesuatu yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Abu al-Aswad
al-Du’ali dan telah disepakati oleh para ulama!”
“Ini pertanyaan yang aku suka,” Timpal al-Khalil sambil
tersenyum. Lalu ia meneruskan “Justru itulah yang membuatku tertarik
mengkajinya hingga membuatku melupakan kalian dan harus pergi menyendiri demi
memikirkannya.”
Abu al-Ma’la pasrah, “Ya, aku mengerti keinginanmu.”
Al-Khalil melanjutkan, “Sebenarnya, gambaran teori yang
sudah kupikirkan sangat simpel, yaitu, bagaimana jika untuk harakat, kita
tandai dengan huruf mad. Jadi, untuk harakat fathah ditandai dengan alif kecil
di atasnya, harakat damah ditandai dengan huruf wawu kecil di atasnya, dan
harakat kasrah dengan huruf ya’ kecil di bawahnya.”
“Wah, bagaimana itu?! Nanti malah membuat tulisan Arab
semakin jelek dan semakin amburadul!” sanggah Abu al-Ma’la.
“Sebentar dulu, coba lihat tulisan di lembaran yang kau
pegang itu!” Al-Khalil berusaha memberi penjelasan.
Abu al-Ma’la melihat lembaran yang ia pegang, namun ia
kesulitan membacanya.
“Kesulitan, bukan?!” Al-Khalil tersenyum, “Baik, sekarang
coba lihat tulisan ini! Tulisan ini lebih mudah dibaca, bukan?!” Al-Khalil
menunjukkan lembaran lain yang telah tertulis harakat huruf mad yang ada di
atas dan di bawahnya.
Setelah melihat dan membacanya, Abu al-Ma’la malah
memandangnya sinis, lalu berkata, “Kau itu membuat tulisan Arab semakin jelek
dan amburadul. Sudah, hentikan!”
“Aku tidak akan berhenti sampai di sini. Aku akan
menunjukkan kepada orang-orang setelah metode penulisan ini selesai!” Al-Khalil
tampak semakin yakin dengan proyeknya itu.
Akhirnya, Abu al-Ma’la beranjak pergi meninggalkan
al-Khalil. Sedangkan al-Khalil kembali bergelut dengan teorinya.
Setelah dirasa cukup baik, dan berhasil mencetuskan harakat
huruf mad, al-Khalil lalu menuliskan contoh penggunaan harakat tersebut pada
beberapa kertas, lalu membagikannya kepada orang-orang. Namun sayang sekali,
kebanyakan orang-orang tidak ada yang menerimanya. Mereka nyinyir. Bahkan tidak
sedikit yang mencemooh dan menghinanya.
Ibarat hujan yang tak henti-henti membasahi bumi, al-Khalil
pantang menyerah. Meskipun ia mendapatkan banyak komentar nyinyir, namun ia
terus melakukan perbaikan. Hingga pada akhirnya, banyak juga yang mulai
simpatik pada temuannya itu.
Ketika orang-orang mulai banyak yang menerima dan
menggunakan metode al-Khalil, tiba-tiba ada sekelompok ulama yang masih fanatik
terhadap metode penulisan Arab klasik. Kelompok itu khawatir, temuan al-Khalil
itu nantinya akan mengubah keaslian Al-Qur’an. Mereka pun melaporkan
kekhawatiran itu kepada al-Khalil, dan seketika al-Khalil langsung menerima
masukannya. Walhasil, al-Khalil menetapkan bahwa metode penulisan Arab yang ia
temukan tidak boleh diterapkan dalam Al-Qur’an.
Setelah al-Khalil wafat, barulah para ulama qira’ah banyak
yang mengakui metode temuan al-Khalil itu. Dengan pertimbangan yang matang,
akhirnya mereka pun menerapkannya dalam al-Qur’an.
Sumber:
Yusuf Al-‘Isy, Qishshah Abqarī.