Kisah Penyempurnaan Harakat Arab oleh Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi

Setiap ulama memiliki ciri khas dalam kesehariannya. Mereka memiliki tabiat yang terkadang tidak semua orang memilikinya. Bahkan tak jarang di antara mereka ada yang memiliki sikap dan tingkah nyeleneh dalam pergaulannya. Termasuk kisah al-Khalil berikut ini saat ia merumuskan metode baru dalam penulisan tanda harakat Arab.

Tidak seperti biasa, hari itu, al-Khalil al-Farahidi tiba-tiba menghilang dari keramaian orang-orang di kotanya. Sahabat-sahabatnya kebingungan. Mereka mencari kemana-mana tapi tidak menjumpainya. Abu al-Ma’la termasuk sahabat yang ikut mencari keberadaan al-Khalil. Karena penasaran, ia memutuskan untuk mencari ke rumahnya.

Sesampainya di rumah al-Khalil, Abu al-Ma’la bertanya kepada seseorang tentang keberadaannya. Orang itu menjawab bahwa biasanya al-Khalil berangkat pagi-pagi, dan pulang sore hari menjelang petang.

Esok paginya, Abu al-Ma’la sengaja menunggu al-Khalil di lorong depan rumahnya. Setelah beberapa lama, ia melihat al-Khalil keluar dari rumahnya sambil berjalan tergesa-gesa. Diam-diam ia mengikutinya dari belakang. Al-Khalil terus berjalan hingga keluar kota. Tampaknya, ia berjalan tak tentu arah, seperti orang yang sedang tersesat kebingungan.

Karena penasaran, Abu al-Ma’la menyusul menghampirinya, lalu menyapanya dengan suara yang keras; tidak mempan, al-Khalil tetap berjalan dengan lamunan kosong seperti sedang dirundung asmara. Karena jengkel, akhirnya Abu al-Ma’la menarik lengan al-Khalil hingga membuatnya oleng dan nyaris terjatuh.

“Kau kah itu, wahai Abu al-Ma’la?” tanya al-Khalil setengah sadar. “Apa yang membuatmu datang kemari?” lanjutnya.

“Aku melihat dirimu sedang dirundung kerinduan dan cinta yang dahsyat. Kau terlihat hampa, kering bagaikan gurun. Terbayang jelas, orang yang kau cintai dalam tebaran debu gurun itu,” jawab Abu al-Ma’la.

“Sudah, jangan begitu, kita tidak sedang bergurau!” timpal al-Khalil.

“Lalu apa? Bukankah cinta hanya sebuah permainan yang sia-sia. Ah, maaf. Mereka yang sudah pengalaman akan perihnya cinta melarang kita terperdaya olehnya. Aku tidak bergurau, ini fakta,” jelas Abu al-Ma’la. Ia meneruskan dengan pertanyaan, “Jelaskan padaku, siapa wanita yang membuat dirimu seperti ini?”

“Tidak, aku tidak memiliki kekasih, sungguh!” tegas al-Khalil.

“Apa engkau ingin tergila-gila seperti Qais al-Majnun? Katankanlah, siapa kekasihmu?” paksa Abu al-Ma’la.

Al-Khalil pun kebingungan, lalu berkata, “Bukankah aku sudah bilang. Aku bukanlah seorang pecinta yang sedang mencintai seorang wanita!”

“Jika engkau bukan seorang pecinta yang sedang tergila-gila kepada seseorang, itu mustahil. Tidak ada orang yang tiba-tiba pergi ke gurun untuk menyendiri tanpa ada maksud apa-apa, kecuali ia sedang didera asmara. Apalagi ia sampai mengasingkan diri, bahkan menghilang dari pergaulan orang-orang.” Abu al-Ma’la menelusuri, ia melanjutkan, “Katakan padaku apa yang terjadi padamu! Jelaskan hingga aku tidak mengkhawatirkanmu lagi!”

“Apa yang terjadi padaku tidak akan membuatmu bersedih, apalagi menyusahkanmu!” jelas al-Khalil.

“Tambah bingung aku, bagaimana itu?” Abu al-Ma’la semakin bingung.

“Apakah setelah aku jelaskan nanti, kau akan pergi?”

“Ya, baik!”

Lalu, al-Khalil mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, dan berkata kepada Abu al-Ma’la, “Bacalah!”

Abu al-Ma’la sedikit kebingungan melihat tulisan yang ada pada lembaran tersebut. Ia menemukan sebuah tulisan yang terdapat banyak titik-nya, di atas, di bawah dan di tengah. Karena bingung, ia bertanya, “Apa ini? Engkau sedang bermain tebak-tebakan atau sedang mengigau?”

“Tidak. Coba perhatikan, huruf yang bentuknya sama, dibedakan dengan cara diberi tanda titik pada salah satunya. Seperti huruf Jim, untuk membedakannya dengan huruf Ha’, diberi tanda titik di bawahnya.” Al-Khalil mencoba menjelaskan.

“Ya, bagus, memang seperti itu!” Abu al-Ma’la mulai tanggap.

“Asal kau tahu saja, dulu, Abu al-Aswad al-Du’ali memberi harakat fathah, kasrah dan dlammah juga dengan tanda titik, sampai sekarang itu yang berlaku.” Al-Khalil mulai berteori, ia meneruskan, “Namun, masalahnya, bagaimana cara membedankan antara tanda titik harakat dengan tanda titik pembeda huruf? Keduanya sama-sama dibedakan dengan titik.”

“Aku heran, kenapa engkau berpikiran seperti itu?” Abu al-Ma’la diam sejenak, lalu melanjutkan, “Bukankah keduanya dibedakan oleh warna khusus. Titik yang menjadi pembeda huruf ditulis dengan warna hitam sama seperti warna hurufnya, sedangkan titik yang menjadi harakat ditulis dengan warna merah, hingga keduanya tidak rancu.”

Al-Khalil menyanggahi, “Asal kau tahu saja, aku pergi dari peredaran orang-orang, menyendiri dan menjauhi keramaian, tidak lain, hanya untuk mencari solusi yang paling mudah bagi para pelajar, penulis dan pembaca. Aku ingin apa yang ditulis orang-orang nanti tanpa harus mengubah warna. Itu terlalu sulit bagi mereka. Tapi aku juga tidak mau mereka kebanyakan menulis titik, aku khawatir nanti terjadi kerancuan.”

“Engkau telah melakukan perkara bid’ah! Engkau telah keluar dari apa yang telah ditetapkan oleh para sahabat dalam penulisan Al-Qur’an ini. Demi Allah orang-orang akan menuduhmu melakukan kesesatan. Sudah, tinggalkan perkara ini!” Abu al-Ma’la menasehati.

“Aku kan sudah bilang. Hal ini tidak perlu menjadi persoaalan bagimu. Apa urusanmu?!” Al-Khalil jengkel.

“Ya, tapi engkau itu ngapain memikirkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, tidak pula mendatangkan pahala!” Cercanya, “Ngapian juga engkau mencari-cari sesuatu yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Abu al-Aswad al-Du’ali dan telah disepakati oleh para ulama!”

“Ini pertanyaan yang aku suka,” Timpal al-Khalil sambil tersenyum. Lalu ia meneruskan “Justru itulah yang membuatku tertarik mengkajinya hingga membuatku melupakan kalian dan harus pergi menyendiri demi memikirkannya.”

Abu al-Ma’la pasrah, “Ya, aku mengerti keinginanmu.”

Al-Khalil melanjutkan, “Sebenarnya, gambaran teori yang sudah kupikirkan sangat simpel, yaitu, bagaimana jika untuk harakat, kita tandai dengan huruf mad. Jadi, untuk harakat fathah ditandai dengan alif kecil di atasnya, harakat damah ditandai dengan huruf wawu kecil di atasnya, dan harakat kasrah dengan huruf ya’ kecil di bawahnya.”

“Wah, bagaimana itu?! Nanti malah membuat tulisan Arab semakin jelek dan semakin amburadul!” sanggah Abu al-Ma’la.

“Sebentar dulu, coba lihat tulisan di lembaran yang kau pegang itu!” Al-Khalil berusaha memberi penjelasan.

Abu al-Ma’la melihat lembaran yang ia pegang, namun ia kesulitan membacanya.

“Kesulitan, bukan?!” Al-Khalil tersenyum, “Baik, sekarang coba lihat tulisan ini! Tulisan ini lebih mudah dibaca, bukan?!” Al-Khalil menunjukkan lembaran lain yang telah tertulis harakat huruf mad yang ada di atas dan di bawahnya.

Setelah melihat dan membacanya, Abu al-Ma’la malah memandangnya sinis, lalu berkata, “Kau itu membuat tulisan Arab semakin jelek dan amburadul. Sudah, hentikan!”

“Aku tidak akan berhenti sampai di sini. Aku akan menunjukkan kepada orang-orang setelah metode penulisan ini selesai!” Al-Khalil tampak semakin yakin dengan proyeknya itu.

Akhirnya, Abu al-Ma’la beranjak pergi meninggalkan al-Khalil. Sedangkan al-Khalil kembali bergelut dengan teorinya.

Setelah dirasa cukup baik, dan berhasil mencetuskan harakat huruf mad, al-Khalil lalu menuliskan contoh penggunaan harakat tersebut pada beberapa kertas, lalu membagikannya kepada orang-orang. Namun sayang sekali, kebanyakan orang-orang tidak ada yang menerimanya. Mereka nyinyir. Bahkan tidak sedikit yang mencemooh dan menghinanya.

Ibarat hujan yang tak henti-henti membasahi bumi, al-Khalil pantang menyerah. Meskipun ia mendapatkan banyak komentar nyinyir, namun ia terus melakukan perbaikan. Hingga pada akhirnya, banyak juga yang mulai simpatik pada temuannya itu.

Ketika orang-orang mulai banyak yang menerima dan menggunakan metode al-Khalil, tiba-tiba ada sekelompok ulama yang masih fanatik terhadap metode penulisan Arab klasik. Kelompok itu khawatir, temuan al-Khalil itu nantinya akan mengubah keaslian Al-Qur’an. Mereka pun melaporkan kekhawatiran itu kepada al-Khalil, dan seketika al-Khalil langsung menerima masukannya. Walhasil, al-Khalil menetapkan bahwa metode penulisan Arab yang ia temukan tidak boleh diterapkan dalam Al-Qur’an.

Setelah al-Khalil wafat, barulah para ulama qira’ah banyak yang mengakui metode temuan al-Khalil itu. Dengan pertimbangan yang matang, akhirnya mereka pun menerapkannya dalam al-Qur’an.

 

Sumber:

Yusuf Al-‘Isy, Qishshah Abqarī.