Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi pemantik
pembahasan lafaz dan makna di kalangan kritikus bermula dari pertanyaan
semisal: lebih dahulu mana antara lafaz dan makna? Apakah lafaz lebih dahulu
ada di dalam jiwa/hati (nafs) manusia kemudian berkelindan dengan
lafaz-lafaz yang lain sehingga membentuk suatu pemikiran? Ataukah makna yang
justru lebih dahulu ada di dalam jiwa manusia, lalu tersusun antar makna-makna
sehingga menjadi sebuah pemikiran, kemudian mencari ‘ibārah
untuk mengungkapkannya? Atau keduanya, lafaz dan makna, muncul secara
bersamaan tak terpisahkan di dalam hati/jiwa, kemudian tersampaikan melalui
lisan?
Para kritikus Arab klasik dan modern berbeda pandangan
tentang lafaz dan makna, terkhusus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti
di atas. Mayoritas kritikus Arab klasik berpandangan bahwa seseorang yang
berbicara (mutakallim) akan menghadirkan makna di dalam pikiran terlebih
dahulu, baru kemudian ia mencari lafaz yang cocok dengan apa yang ada di dalam
pikirannya.
Ada yang mengatakan bahwa makna tercipta di dalam jiwa (nafs)
seorang mutakallim. Kemudian ia mencari lafaz yang tepat untuk
mengungkapkan makna tersebut. Dalam proses pengungkapan itu tidak mudah.
Seseorang butuh latihan di dalam menemukan lafaz dan memiliki diksi yang tepat
untuk mengungkapkan isi pikirannya. Menurut Bisyr bin al-Mu’tamir (w. 210 H.),
seseorang mutakallim mungkin bisa mengungkapkan (ma’nā)
di dalam pikirannya setelah memiliki kemampuan atau bakat berbahasa dengan baik
(ṭabī’ah
al-bayān). Jika tidak memilikinya, maka mungkin sulit baginya.
Golongan ini berpandangan bahwa lafaz dan makna adalah
sesuatu yang berbeda bahkan terpisah. Maka tak heran di kalangan mereka makna
diibaratkan tubuh manusia, sedangkan lafaz adalah bajunya. Baju terpisah dengan
tubuh. Keduanya adalah sesuatu yang berbeda. Bahkan, baju datang belakangan
dari pada tubuh.
Di antara yang juga berpendapat demikian dari kritikus
modern adalah Georges Duhamel. Ia pernah mengatakan: “Sering kali saya
mendengar percakapan orang-orang di gerbong kereta, atau di tengah-tengah
jamuan makan. Kemudian terlintas sesuatu dalam pikiran namun saya tak bisa
mengungkapkannya dengan kata-kata. Barangkali nanti saya bisa mengungkapkan apa
yang saya rasakan. Namun sekarang tidak. Saya memang tidak bisa mengungkapkan
apa yang ada dalam pikiran, namun barangkali suatu saat ada seseorang yang
dengan kecerdasannya ia bisa mengungkapkan apa yang saya rasakan.”
Al-Akhthal al-Ta’alabi berkata:
إن الكلام لفي الفؤاد وإنما + جعل
اللسان على الفؤاد دليلا
Kalam itu adalah apa yang ada di dalam hati/pikiran/jiwa (mā fī
al-ḍamīr)
Para ulama memahami perkataan al-Akhthal tersebut bahwa
kalam adalah al-ma’nā al-nafsī.
Adapun Abdul Qahir al-Jurjani memiliki pandangan yang tak
jauh berbeda terkait hal ini. Bahwa menurutnya, makna ada terlebih dahulu, baru
kemudian diungkapkan oleh lafaz. Pandangan al-Jurjani ini tertera pada banyak
bagian di dalam karyanya, Dalāil al-I’jāz.
Menurut al-Jurjani, seorang mutakallim (orang yang
berbicara), terlebih dahulu akan menyusun makna-makna di dalam pikirannya (ma’ānī fī
nafsihī), baru kemudian ia akan mengungkapkannya dengan
menyusun lafaz-lafaz melalui lisannya. Baginya, manusia tidak akan bisa
menyusun lafaz-lafaz melalui lisannya kecuali setelah ia memikirkan makna
terlebih dahulu dan menyusunnnya di dalam pikirannya. Pernyataan seperti ini
tertera di dalam beberapa bagian pada Dalāil al-I’jāz.
Al-Jurjani terang-terangan mengatakan bahwa lafaz adalah
‘pelayan’ (khadam) bagi makna. Keberadaan makna lebih dahulu ada di
dalam pikiran, baru kemudian lafaz. Hal ini, menurutnya, yang (seharusnya)
diketahui dan dipahami oleh semua orang yang berakal (al-Jurjani: 320).
Abdul Qahir al-Jurjani juga menampik orang-orang yang
mengatakan bahwa susunan itu ada pada lafaz (al-tartīb
fī
al-alfāż) dalam artian bahwa susunan itu bergantung atau mengikuti
lafaz (275). Al-Jurjani menyalahkan orang-orang yang berpandangan bahwa makna
mengikuti lafaz. Menurutnya, pandangan itu keliru karena mereka melihatnya dari
perspektif pendengar. Bagi pendengar makna didapatkan dari lafaz yang ia dengar
atau yang ia baca. Seorang pendengar akan mendapatkan makna setelah ia memahami
lafaz. Sejauh mana ia memahami susunan lafaz, maka sejauh itu pula ia akan
mendapatkan makna dan maksudnya. Namun di dalam persoalan lafaz dan makna,
menurut al-Jurjani tidak boleh menggunakan perspektif pendengar, namun harus
menggunakan perspektif mutakallim atau orang yang mengatakan (wāḍi’
li al-kalām wa al-muallif).
Dalam pernyataan lain, al-Jurjani kembali menegaskan: “Lafaz
merupakan tanda (simāt) bagi makna, yang digunakan
untuk menunjukkan kepada makna. Maka bagaimana mungkin lafaz mendahului makna
untuk menggambarkan apa yang ada di dalam hati atau jiwa?! Jika memang hal itu
memungkinkan, maka mungkin pula keberadaan suatu penanda mendahului petandanya.”
(320).
Sampai di sini dapat dilihat bahwa Abdul Qahir al-Jurjani
menempatkan lafaz dan makna sebagai dua hal yang terpisah. Makna adalah
sesuatu, dan lafaz adalah sesuatu yang berbeda. Hubungan keduanya perspektif
Abdul Qahir -jika menggunakan istilah semiotika de Saussure- adalah hubungan
antara penanda dan petanda. Lafaz sebagai penanda sedangkan makna adalah
petanda.
Kritikus lain mengatakan bahwa lafaz dan makna adalah dua
hal yang tak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan yang menyatu. Lafaz
dan makna tidak seperti gelas dan air: menemukan air terlebih dahulu, kemudian
dituangkan ke dalam gelas. Lafaz dan makna tidak seperti pakaian dan tubuh yang
pada hakikatnya adalah dua hal yang berbeda. Dalam pandangan ini, seseorang
ketika berbicara sejatinya ia mengucapkan makna dan lafaz secara bersamaan.
Makna tak punya wujud tanpa lafaz, dan sesuatu yang terlintas dalam pikiran
atau jiwa sebenarnya itu adalah makna sekaligus lafaz.
Apakah lafaz dan makna dapat dideskripsikan sebagai sesuatu
yang terpisah? Pandangan ini mengatakan bahwa lafaz adalah ṣūrah, yaitu
wujud yang dapat diakses oleh indra, sedangkan makna adalah maḍmūn, yaitu
isi atau kandungan. Namun dalam penegasannya, hubungan ṣūrah dan maḍmūn
yang dimaksud di sini bukan seperti hubungan antara kulit dan isi; baju dan
tubuh; atau seperti sampul buku dan lembaran-lembaran isinya yang itu semua
dapat dipisah. Ṣūrah dan maḍmūn yang dimaksud di sini adalah yang
tak terpisah. Ṣūrah adalah yang terlihat dari maḍmūn, sedangkan maḍmūn
adalah yang tak terlihat dari ṣūrah. Keduanya merupakan satu
kesatuan. Tidak mungkin sebuah lafaz terpisah atau tidak memiliki makna. Begitu
pula tidak mungkin makna tak memiliki lafaz.
Dari dua pandangan tersebut, ada kalangan yang berusaha mencerna
dan menggabungkan keduanya: Ketika suatu kalam masih ada di dalam jiwa (nafs)
maka makna terpisah dari lafaz dan keduanya adalah sesuatu yang berbeda. Namun,
ketika kalam itu sudah melewati nafs dan mulai terbayang dalam pikiran
perihal redaksi pengungkapannya, lebih-lebih ketika sudah terucap oleh lisan,
maka lafaz dan makna sudah menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Adapun dalam kaitannya dengan kritik sastra dan aspek kemukjizatan
Al-Qur’an, para ulama dan kritikus Arab klasik berpandangan bahwa lafaz dan
makna adalah dua hal yang saling melekat (mutalāzimāni). Sekalipun
saling melekat namun keduanya dapat didefinisikan dan dideskripsikan
masing-masing. Para kritikus Arab klasik memberikan sifat-sifat dan
kriteria-kriteria tertentu bagi lafaz dan makna. Suatu kalam terkadang disifati
indah pada lafaznya namun tidak pada maknanya. Begitu pula sebaliknya. Dan
sampai titik ini, perdebatan masih terus berlanjut. Bahkan pembahasan dualisme
lafaz dan makna ini menjadi perdebatan serius di dalam menentukan aspek kemukjizaan
Al-Qur’an; apakah aspek itu ada pada lafaznya, atau pada maknanya, atau pada
keduanya?
Referensi
Ali Muhammad Hasan al-‘Ammari. Qaḍīyah al-Lafż wa al-Ma’nā wa Aṡaruhā
fī Tadwīn al-Balāgah al-‘Arabīyah. Kairo: Maktabah Wahbah. 1999.
Abdul Qahir al-Jurjani. Dalāil al-I’jāz. Kairo: Maktabah
al-Khanji. 1984.