Relasi Lafaz dan Makna


Pembahasan tentang lafaz dan makna menjadi perdebatan di kalangan lintas disiplin, dari bahasa, filsafat, hingga teologi. Di kalangan linguis dan kritikus sastra Arab juga menjadi perbincangan runcing dari generasi ke generasi. Terlebih ketika pembahasan ini berkaitan dengan aspek kemukjizatan Al-Qur’an dan juga kaitannya dengan mazhab-mazhab teologis yang berkembang sejak abad-abad permulaan Hijriyah.

Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi pemantik pembahasan lafaz dan makna di kalangan kritikus bermula dari pertanyaan semisal: lebih dahulu mana antara lafaz dan makna? Apakah lafaz lebih dahulu ada di dalam jiwa/hati (nafs) manusia kemudian berkelindan dengan lafaz-lafaz yang lain sehingga membentuk suatu pemikiran? Ataukah makna yang justru lebih dahulu ada di dalam jiwa manusia, lalu tersusun antar makna-makna sehingga menjadi sebuah pemikiran, kemudian mencari ‘ibārah untuk mengungkapkannya? Atau keduanya, lafaz dan makna, muncul secara bersamaan tak terpisahkan di dalam hati/jiwa, kemudian tersampaikan melalui lisan?

Para kritikus Arab klasik dan modern berbeda pandangan tentang lafaz dan makna, terkhusus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti di atas. Mayoritas kritikus Arab klasik berpandangan bahwa seseorang yang berbicara (mutakallim) akan menghadirkan makna di dalam pikiran terlebih dahulu, baru kemudian ia mencari lafaz yang cocok dengan apa yang ada di dalam pikirannya.

Ada yang mengatakan bahwa makna tercipta di dalam jiwa (nafs) seorang mutakallim. Kemudian ia mencari lafaz yang tepat untuk mengungkapkan makna tersebut. Dalam proses pengungkapan itu tidak mudah. Seseorang butuh latihan di dalam menemukan lafaz dan memiliki diksi yang tepat untuk mengungkapkan isi pikirannya. Menurut Bisyr bin al-Mu’tamir (w. 210 H.), seseorang mutakallim mungkin bisa mengungkapkan (ma’nā) di dalam pikirannya setelah memiliki kemampuan atau bakat berbahasa dengan baik (ṭabī’ah al-bayān). Jika tidak memilikinya, maka mungkin sulit baginya.

Golongan ini berpandangan bahwa lafaz dan makna adalah sesuatu yang berbeda bahkan terpisah. Maka tak heran di kalangan mereka makna diibaratkan tubuh manusia, sedangkan lafaz adalah bajunya. Baju terpisah dengan tubuh. Keduanya adalah sesuatu yang berbeda. Bahkan, baju datang belakangan dari pada tubuh.

Di antara yang juga berpendapat demikian dari kritikus modern adalah Georges Duhamel. Ia pernah mengatakan: “Sering kali saya mendengar percakapan orang-orang di gerbong kereta, atau di tengah-tengah jamuan makan. Kemudian terlintas sesuatu dalam pikiran namun saya tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Barangkali nanti saya bisa mengungkapkan apa yang saya rasakan. Namun sekarang tidak. Saya memang tidak bisa mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran, namun barangkali suatu saat ada seseorang yang dengan kecerdasannya ia bisa mengungkapkan apa yang saya rasakan.”

Al-Akhthal al-Ta’alabi berkata:

إن الكلام لفي الفؤاد وإنما + جعل اللسان على الفؤاد دليلا

Kalam itu adalah apa yang ada di dalam hati/pikiran/jiwa (mā fī al-ḍamīr)

Para ulama memahami perkataan al-Akhthal tersebut bahwa kalam adalah al-ma’nā al-nafsī.

Adapun Abdul Qahir al-Jurjani memiliki pandangan yang tak jauh berbeda terkait hal ini. Bahwa menurutnya, makna ada terlebih dahulu, baru kemudian diungkapkan oleh lafaz. Pandangan al-Jurjani ini tertera pada banyak bagian di dalam karyanya, Dalāil al-I’jāz.

Menurut al-Jurjani, seorang mutakallim (orang yang berbicara), terlebih dahulu akan menyusun makna-makna di dalam pikirannya (ma’ānī fī nafsihī), baru kemudian ia akan mengungkapkannya dengan menyusun lafaz-lafaz melalui lisannya. Baginya, manusia tidak akan bisa menyusun lafaz-lafaz melalui lisannya kecuali setelah ia memikirkan makna terlebih dahulu dan menyusunnnya di dalam pikirannya. Pernyataan seperti ini tertera di dalam beberapa bagian pada Dalāil al-I’jāz.

Al-Jurjani terang-terangan mengatakan bahwa lafaz adalah ‘pelayan’ (khadam) bagi makna. Keberadaan makna lebih dahulu ada di dalam pikiran, baru kemudian lafaz. Hal ini, menurutnya, yang (seharusnya) diketahui dan dipahami oleh semua orang yang berakal (al-Jurjani: 320).

Abdul Qahir al-Jurjani juga menampik orang-orang yang mengatakan bahwa susunan itu ada pada lafaz (al-tartīb fī al-alfāż) dalam artian bahwa susunan itu bergantung atau mengikuti lafaz (275). Al-Jurjani menyalahkan orang-orang yang berpandangan bahwa makna mengikuti lafaz. Menurutnya, pandangan itu keliru karena mereka melihatnya dari perspektif pendengar. Bagi pendengar makna didapatkan dari lafaz yang ia dengar atau yang ia baca. Seorang pendengar akan mendapatkan makna setelah ia memahami lafaz. Sejauh mana ia memahami susunan lafaz, maka sejauh itu pula ia akan mendapatkan makna dan maksudnya. Namun di dalam persoalan lafaz dan makna, menurut al-Jurjani tidak boleh menggunakan perspektif pendengar, namun harus menggunakan perspektif mutakallim atau orang yang mengatakan (wāḍi’ li al-kalām wa al-muallif).

Dalam pernyataan lain, al-Jurjani kembali menegaskan: “Lafaz merupakan tanda (simāt) bagi makna, yang digunakan untuk menunjukkan kepada makna. Maka bagaimana mungkin lafaz mendahului makna untuk menggambarkan apa yang ada di dalam hati atau jiwa?! Jika memang hal itu memungkinkan, maka mungkin pula keberadaan suatu penanda mendahului petandanya.” (320).

Sampai di sini dapat dilihat bahwa Abdul Qahir al-Jurjani menempatkan lafaz dan makna sebagai dua hal yang terpisah. Makna adalah sesuatu, dan lafaz adalah sesuatu yang berbeda. Hubungan keduanya perspektif Abdul Qahir -jika menggunakan istilah semiotika de Saussure- adalah hubungan antara penanda dan petanda. Lafaz sebagai penanda sedangkan makna adalah petanda.

Kritikus lain mengatakan bahwa lafaz dan makna adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan yang menyatu. Lafaz dan makna tidak seperti gelas dan air: menemukan air terlebih dahulu, kemudian dituangkan ke dalam gelas. Lafaz dan makna tidak seperti pakaian dan tubuh yang pada hakikatnya adalah dua hal yang berbeda. Dalam pandangan ini, seseorang ketika berbicara sejatinya ia mengucapkan makna dan lafaz secara bersamaan. Makna tak punya wujud tanpa lafaz, dan sesuatu yang terlintas dalam pikiran atau jiwa sebenarnya itu adalah makna sekaligus lafaz.

Apakah lafaz dan makna dapat dideskripsikan sebagai sesuatu yang terpisah? Pandangan ini mengatakan bahwa lafaz adalah ṣūrah, yaitu wujud yang dapat diakses oleh indra, sedangkan makna adalah maḍmūn, yaitu isi atau kandungan. Namun dalam penegasannya, hubungan ṣūrah dan maḍmūn yang dimaksud di sini bukan seperti hubungan antara kulit dan isi; baju dan tubuh; atau seperti sampul buku dan lembaran-lembaran isinya yang itu semua dapat dipisah. Ṣūrah dan maḍmūn yang dimaksud di sini adalah yang tak terpisah. Ṣūrah adalah yang terlihat dari maḍmūn, sedangkan maḍmūn adalah yang tak terlihat dari ṣūrah. Keduanya merupakan satu kesatuan. Tidak mungkin sebuah lafaz terpisah atau tidak memiliki makna. Begitu pula tidak mungkin makna tak memiliki lafaz.

Dari dua pandangan tersebut, ada kalangan yang berusaha mencerna dan menggabungkan keduanya: Ketika suatu kalam masih ada di dalam jiwa (nafs) maka makna terpisah dari lafaz dan keduanya adalah sesuatu yang berbeda. Namun, ketika kalam itu sudah melewati nafs dan mulai terbayang dalam pikiran perihal redaksi pengungkapannya, lebih-lebih ketika sudah terucap oleh lisan, maka lafaz dan makna sudah menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Adapun dalam kaitannya dengan kritik sastra dan aspek kemukjizatan Al-Qur’an, para ulama dan kritikus Arab klasik berpandangan bahwa lafaz dan makna adalah dua hal yang saling melekat (mutalāzimāni). Sekalipun saling melekat namun keduanya dapat didefinisikan dan dideskripsikan masing-masing. Para kritikus Arab klasik memberikan sifat-sifat dan kriteria-kriteria tertentu bagi lafaz dan makna. Suatu kalam terkadang disifati indah pada lafaznya namun tidak pada maknanya. Begitu pula sebaliknya. Dan sampai titik ini, perdebatan masih terus berlanjut. Bahkan pembahasan dualisme lafaz dan makna ini menjadi perdebatan serius di dalam menentukan aspek kemukjizaan Al-Qur’an; apakah aspek itu ada pada lafaznya, atau pada maknanya, atau pada keduanya?

 

Referensi

Ali Muhammad Hasan al-‘Ammari. Qaḍīyah al-Lafż wa al-Ma’nā wa Aṡaruhā fī Tadwīn al-Balāgah al-‘Arabīyah. Kairo: Maktabah Wahbah. 1999.

Abdul Qahir al-Jurjani. Dalāil al-I’jāz. Kairo: Maktabah al-Khanji. 1984.