
Tafsir bayani menjadi pembahasan menarik di kalangan pengkaji Al-Qur’an yang cikal bakalnya secara teoretis menjadi perbincangan sejak abad kedua dan ketiga Hijriyah atau pada periode pertama Abbasiyah. Para linguis dan sastrawan Arab klasik dalam lintasan sejarahnya sudah menaruh konsentrasi pada pengkajian Al-Qur’an perspektif sastra-kebahasaan (balaghah dan naqd) yang menjadi episentrum dalam pembahasan-pembahasan seputar penemuan aspek kemukjizatan Al-Qur’an.
I’jāz Al-Qur’an menjadi perdebatan
panjang di kalangan ulama bahasa yang mengkaji Al-Qur’an. Perdebatan itu
melahirkan beragam pendapat dan perspektif dalam melihat aspek kemukjizatan
yang kemudian mampu memproduksi sebuah disiplin keilmuan baru yaitu ilmu ma’ani
dan berkembang kembali menjadi ilmu balaghah. Para pemuka yang berada pada
sekitar abad ketiga sampai abad ketujuh, di antaranya adalah Abu Ubaidah (w.
210 H.), al-Farra’ (w. 207 H.), al-Jahidz (w. 225 H.), Ibnu Qutaibah (w. 276
H.), al-Rummani (w. 384 H.), al-Khattabi (w. 386 H.), al-Baqillani (w. 403 H.),
Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H.), Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H.), dan al-Zamakhsyari (w. 538 H.), dan Fakhruddin
al-Razi (w. 606 H.). Nama-nama tersebut memiliki peran besar bagi lahir dan
berkembangnya ilmu balaghah dan kajian-kajian Al-Qur’an perspektif bahasa dan
sastra, yang saat ini dikenal dengan tafsir bayani.
Pada era modern, sekitar akhir
abad 19 Masehi hingga saat ini, ada beberapa nama yang berkonotasi kepada
tafsir bayani, di antaranya adalah Mushtafa Shadiq al-Rafi’i (w. 1937 M.) yang
menulis kitab berjudul I’jāz al-Qur’ān
dan dianggap sebagai kitab pertama pada era modern yang secara utuh membahas
aspek kemukjizatan Al-Qur’an perspektif bahasa (balaghah).
Ada pula Amin al-Khuli (w. 1966 M.),
seorang pemikir modern dari Mesir yang membawa pembaharuan melalui tafsir
sastrawi (al-tafsīr al-adabī).
Amin al-Khuli dikenal sebagai sosok yang berkonsentrasi dalam mempelajari dan
mengkaji dasar dan metodologi tafsir susastra meski ia pernah menjadi sosok
yang kontroversi. Amin al-Khuli memiliki istri yang juga terkenal sebagai tokoh
tafsir bayani, yaitu Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ (w. 1998 M.). Ia memiliki
karangan tafsir bayani meski tidak lengkap sampai 30 juz. Pemikirannya tentang
tafsir bayani merupakan kepanjangan dari pemikiran sang suami.
Muhammad Abdullah Darraz (w. 1958
M.), seorang ulama Al-Azhar juga dikenal sebagai ulama dalam bidang tafsir
bayani. Pemikirannya tentang aspek kemukjizatan terekam dalam kitabnya al-Naba’
al-Aẓīm.
Menurutnya, kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada 3 aspek: i’jāz lughawī,
i’jāz al-ilmī dan i’jāz
al-tasyrī’ī. Ia menolak ṣarfah sebagai
aspek kemukjizatan Al-Qur’an sebagaimana yang pernah diajukan oleh kalangan
Muktazilah klasik.
Ada lagi satu nama yang hingga kini
masih produktif menulis karya dalam bidang tafsir bayani dan aktif mengisi
kajian-kajian di beberapa stasiun televisi, bahkan memiliki program khusus
membahas aspek-aspek keindahan Al-Qur’an perspektif bayani. Ia adalah Fadhil
Shalih al-Samarra’i, seorang mufasir bayani asal Samarra’, Irak. Al-Samarra’i memiliki
banyak karya, di antaranya Alā Ṭarīq al-Tafsīr al-Bayānī dalam 4 jilid yang mengkaji
sejumlah surah Al-Qur’an perspektif balaghah meski tidak lengkap mencakup semua
surah dalam 30 juz.
Dalam program telivisi bertajuk
Lamasāt Bayāniyah yang ditayangkan di kanal Sharjah TV, al-Samarra’i memberikan
kajian Al-Qur’an menggunakan pendekatakan kebahasaan. Ia membahas
perbedaan-perbedaan penggunaan kata, kalimat, ta’bīr dan gaya bahasa di dalam
Al-Qur’an dengan ciri khas pertanyaan “mengapa?”. Ada beberapa pilihan kata,
susunan, atau gaya bahasa yang sekilas memiliki kemiripan di beberapa tempat
dalam Al-Qur’an. Kemiripan itu sekalipun identik, namun bagi al-Samarra’i tetap
memiliki rahasia perbedaan yang halus dalam makna atau ma’nā al-ma’nā
yang terkandung di dalamnya.
Al-Samarra’i mengembangkan tafsir bayani
sebagai metodenya yang bercorak bahasa dan sastra (lughawī-adabī)
melalui pendayagunaan perangkat ilmu morfologi, sintaksis dan balaghah. Dalam
tahapan penafisrannya, al-Samarra’i mengawali dengan mencari makna dasar kata
secara etimologis, kemudian membandingkannya dengan derivasi yang memiliki akar
kata yang sama pada ayat yang lain, memperkuat maknanya dengan ayat yang lain
atau dari hadis nabi, serta memberikan alasan pemilihan suatu kata atau diksi dalam
Al-Qur’an secara maknawi.
Di dalam mukadimah Alā Ṭarīq al-Tafsīr
al-Bayānī, al-Samarra’i secara gamblang menyebutkan definisi tafsir bayani,
yaitu tafsir yang menjelaskan rahasia-rahasia (asrār) susunan di dalam
gaya pengungkapan (ta’bīr) Al-Qur’an. Tafsir bayani merupakan bagian
dari tafsir secara umum, hanya saja ia berfokus kepada penjelasan
rahasia-rahasia gaya pengungkapan dari segi artistik atau keindahan bahasa (fannīyah),
seperti taqdīm dan ta’khīr, zikr dan hazf, ikhtiyār
lafz, dan lain sebagainya.
Bagi seorang pengkaji tafsir bayani,
kompetensi yang harus dikuasai sama dengan pengkaji tafsir pada umumnya, hanya
saja menurut al-Samarra’i ada beberapa kompetensi yang membutuhkan lebih banyak
penguasaannya, yaitu menguasai ilmu bahasa, ilmu tashrif, ilmu nahwu dan ilmu
balaghah.
Yang dimaksud menguasai menurut
al-Samarra’i adalah al-tabaḥḥur: menguasai secara luas dan mendalam
dalam ilmu bahasa. Ia mengutip al-Zarkasyi di dalam al-Burhān fī Ulūm al-Qur’an:
“Orang yang tidak menguasai secara luas dan mendalam (al-tabaḥḥur)
terhadap hakikat-hakikat (ḥaqāiq) bahasa dan konsep-konsepnya, tidak
(boleh/berhak) menafsiri sedikitpun dari Al-Qur’an. (Jika pun mau belajar),
maka tak cukup dengan hanya sedikit belajar.”
Penguasaan bahasa dalam penafsiran
Al-Qur’an dilihat dari dua aspek, (1) aspek kosakata atau lafaz, baik secara
parsial atau mandiri, dan (2) aspek susunan atau struktur. Aspek kosakata
mencakup tiga hal: makna kata, bentuk kata yang menunjukkan kepada makna (taṣrīf),
dan derivasi kata dari akarnya (isytiqāq).
Adapun dalam aspek susunan atau
tarkib, maka mencakup empat hal: Pertama, berkaitan dengan i’rab
sebagaimana ranah ilmu nahwu. Kedua, berkaitan dengan cara kerja sebuah
susunan atau tarkib di dalam menghasilkan ma’nā al-ma’nā sebagaimana
menjadi ranah ilmu ma’ani. Ketiga, berkaitan dengan cara penyampaian
tujuan sebuah ungkapan berdasarkan dilalah haqīqī, majāzī, isti’ārah,
kināyah dan tasybīh sebagaimana menjadi ranah ilmu bayan. Keempat,
berkaitan dengan faṣāḥah lafzīyah dan ma’nawīyah, serta istiḥsān
atau muḥassināt sebagaimana yang menjadi ranah ilmu badi’.
Selain yang disebutkan di atas, al-Samarra’i
melanjutkan bahwa seorang mufassir bayani juga harus menguasai ilmu qira’at dan
asbabunnuzul, mampu membaca konteks, mampu melacak posisi dan tempat di mana
suatu kata atau struktur digunakan, mengetahui adanya kekhususan-kekhususan
dalam penggunaan kata seperti penggunaan kata rīḥ untuk makna yang berkonotasi
jelek dan riyāḥ untuk makna yang berkonotasi baik, mampu melihat waqf
dan ibtidā’ serta efeknya tehadap makna, mampu memperhatikan dengan
teliti dan rinci setiap perbedaan-perbedaan kecil pada kosakata atau struktur
kalimat, mampu merenung dan bertadabbur, senantiasa membaca dan mempelajari
karya-karya tafsir para ulama pendahulunya, dan yang terakhir adalah adanya mauhibah
atau semacam bakat-minat yang kuat untuk konsen di dalam keilmuannya.