Terminologi I'jaz Al-Qur'an (1)


Mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa (amr khāriq li al-‘ādah). Al-Syarif al-Jurjani (w. 816 H.) dalam al-Ta’rīfāt (1983: 219) mendefinisikan mukjizat dengan redaksi: “sesuatu di luar kebiasaan yang mendorong kepada kebaikan dan kebahagiaan; datang bersamaan dengan nubūwah; keberadaannya sebagai bukti bahwa pembawa nubūwah tersebut betul-betul utusan Allah Swt.” Dalam bahasa yang lebih sederhana, mukjizat adalah perkara luar biasa yang dilakukan oleh Allah melalui para utusan-Nya untuk membuktikan kebenaran kenabian dan keabsahan risalahnya.

Sejalan dengan itu, Imam al-Suyuthi (w. 911 H.) dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (1974: 3-4) juga mendefinisikan dengan redaksi yang tidak berbeda, hanya saja ia menambahkan bahwa mukjizat itu bersifat menantang (al-taḥaddī) para penentang-penentang kenabian tersebut. Meski demikian, mukjizat tidak tertandingi dan tidak terkalahkan (sālim ‘an al-mu’āraḍah). Definisi yang sama juga lebih dahulu dikemukakan oleh Al-Fakhr al-Razi (w. 605 H.) sebagaimana dinukil oleh Syamsuddin al-Safarini (w. 1188 H.) dalam Lawāmi’ al-Anwār al-Bahīyah (1982: 2/290), dan juga dikemukakan oleh al-Zarqani (w. 1367 H.) dalam Manāhil al-‘Irfān (tt: 77).

Adapun yang dimaksud dengan amr khāriq li al-‘ādah, atau ‘sesuatu di luar kebiasaan’ adalah tidak dapat diolah atau dicerna oleh ukuran-ukuran manusiawi serta tidak dapat disaingi, ditiru dan diciptakan oleh manusia (2010: 16).

Meski terminologi ini disebut ‘mu’jizah’ yang bermakna sesuatu yang melemahkan, namun tujuan dari mukjizat tidak semata melemahkan manusia, tapi sebagai bukti bagi mereka yang tidak meyakini kebenaran nubūwah agar bisa beriman dan percaya kepada Dzat Pencipta mukjizat tersebut dan kepada utusan (nabi/rasul) yang membawanya (2019: 20).

Mukjizat adalah bukti kekuasaan Allah Swt. Abu al-Baqa’ al-Kafawi (w. 1094 H.) berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya tujuan mukjizat yang dibawa oleh seorang utusan (muballig) berujung pada penafian segala sesuatu selain kekuasaan Allah Swt., dan tidak untuk memberitahukan bahwa mukjizat itu merupakan hasil perbuatan utusan tersebut. Mukjizat merupakan hasil ciptaan Allah Swt. secara jelas dan pasti.” (1998: 150).

Terminologi Mukjizat dalam Al-Qur’an

Meski pada masa awal Islam istilah ‘mukjizat’ belum dikenal, namun secara terminologis, Al-Qur’an telah menyebutkan beberapa istilah yang menunjukkan sesuatu yang memiliki konotasi kepada terminologi mukjizat, yaitu: (2005: 283-284)

(1) Āyāh, seperti dalam surah al-An’am 109, al-A’raf 73, dan al-A’raf 106:

وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِن جَاءَتْهُمْ آيَةٌ لَّيُؤْمِنُنَّ بِهَا، قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِندَ اللَّهِ، وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لَا يُؤْمِنُونَ. (الأنعام 109).

Mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sebenar-benarnya sumpah (bahwa) sungguh jika datang suatu bukti (mukjizat) kepada mereka, pastilah mereka akan beriman kepadanya. Katakanlah, “Sesungguhnya bukti-bukti itu hanya ada pada sisi Allah.” Kamu tidak akan mengira bahwa jika bukti (mukjizat) itu datang, mereka tidak juga akan beriman. (al-An’am 109).

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. (الأعراف 73).

Kami telah mengutus) kepada (kaum) Samud saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kamu tuhan selain Dia. Sungguh, telah datang kepada kamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini adalah unta betina Allah untuk kamu sebagai mukjizat. Maka, biarkanlah ia makan di bumi Allah dan janganlah kamu mengganggunya dengan keburukan apa pun sehingga kamu ditimpa siksa yang sangat pedih.” (al-A’raf 73).

قَالَ إِنْ كُنْتَ جِئْتَ بِآيَةٍ فَأْتِ بِهَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ. (الأعراف 106).

Dia (Fir‘aun) berkata, “Jika benar engkau membawa suatu bukti, tunjukkanlah, kalau kamu termasuk orang-orang yang benar.” (al-A’raf 106).

(2) Bayyinah, seperti dalam surah al-A’raf 73 dan al-A’raf 105:

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. (الأعراف 73).

Kami telah mengutus) kepada (kaum) Samud saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kamu tuhan selain Dia. Sungguh, telah datang kepada kamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini adalah unta betina Allah untuk kamu sebagai mukjizat. Maka, biarkanlah ia makan di bumi Allah dan janganlah kamu mengganggunya dengan keburukan apa pun sehingga kamu ditimpa siksa yang sangat pedih.” (al-A’raf 73).

حَقِيقٌ عَلَى أَنْ لَا أَقُولَ عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ قَدْ جِئْتُكُمْ بِبَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَرْسِلْ مَعِيَ بَنِي إِسْرَائِيلَ. (الأعراف  105).

Wajib atasku tidak mengatakan (sesuatu) terhadap Allah, kecuali yang hak (benar). Sungguh, aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka, lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersamaku.” (al-A’raf 105).

(3) Burhān, seperti dalam surah al-Qashash 32 dan al-Nisa 174:

اسْلُكْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ وَاضْمُمْ إِلَيْكَ جَنَاحَكَ مِنَ الرَّهْبِ فَذَانِكَ بُرْهَانَانِ مِنْ رَبِّكَ إِلَى فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ. (القصص 32).

Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, ia akan keluar (dalam keadaan bercahaya) putih bukan karena cacat. Dekapkanlah kedua tanganmu jika engkau takut. Itulah dua mukjizat dari Tuhanmu (yang akan engkau tunjukkan) kepada Firʻaun dan para pembesarnya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (al-Qashash 32).

يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا. (النساء 174).

Wahai manusia, sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti kebenaran (Nabi Muhammad dengan mukjizatnya) dari Tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an). (al-Nisa 174).

(4) Sulṭān, seperti dalam surah Ibrahim 10 dan 11:

قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ. (إبراهيم 10).

Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu (untuk beriman) agar Dia mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)-mu sampai waktu yang ditentukan.” Mereka menjawab, “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu ingin menghalangi kami dari (menyembah) apa yang sejak dahulu selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” (Ibrahim 10).

قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَمُنُّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَمَا كَانَ لَنَا أَنْ نَأْتِيَكُمْ بِسُلْطَانٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ. (إبراهيم 11).

Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, “Kami hanyalah manusia seperti kamu, tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Tidak mungkin bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Hanya kepada Allah seharusnya orang-orang yang beriman bertawakal. (Ibrahim 11).

ثُمَّ أَرْسَلْنَا مُوسَى وَأَخَاهُ هَارُونَ بِآيَاتِنَا وَسُلْطَانٍ مُبِينٍ. إِلَى فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ فَاسْتَكْبَرُوا وَكَانُوا قَوْمًا عَالِينَ. (المؤمنون 45-46).

Kemudian, Kami utus Musa dan saudaranya, Harun, dengan membawa tanda-tanda (kebesaran) Kami dan bukti yang nyata (Mukjizat Nabi Musa yang sembilan macam). kepada Fir‘aun dan para pemuka kaumnya. Akan tetapi, mereka angkuh dan sejak dahulu mereka adalah kaum yang sombong. (al-Mu’minun 45-46).

(5) Baṣīrah, seperti dalam surah al-Isra 59, al-Naml 12-13, al-An’am 104:

وَمَا مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالْآيَاتِ إِلَّا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الْأَوَّلُونَ وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا. (الإسراء 59).

Tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena (tanda-tanda) itu telah didustakan oleh orang-orang terdahulu. Kami telah berikan kepada kaum Samud unta betina (sebagai mukjizat) yang jelas, tetapi mereka menganiayanya (dengan menyembelihnya). Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu kecuali untuk menakut-nakuti. (al-Isra 59).

وَأَدْخِلْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ فِي تِسْعِ آيَاتٍ إِلَى فِرْعَوْنَ وَقَوْمِهِ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ. فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ آيَاتُنَا مُبْصِرَةً قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ. (النمل 12-13).

Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu,544) ia akan keluar (dalam keadaan bercahaya) putih bukan karena cacat. (Kedua mukjizat ini) termasuk sembilan macam mukjizat (yang akan ditunjukkan) kepada Fir‘aun dan kaumnya. Sesungguhnya mereka benar-benar kaum yang fasik.” Ketika mukjizat-mukjizat Kami yang terang itu sampai kepada mereka, mereka berkata, “Ini sihir yang nyata.” (al-Naml 12-13).

قَدْ جَاءَكُمْ بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ. (الأنعام 104).

Sungguh, telah datang kepadamu bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu. Siapa yang melihat (bukti-bukti itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri dan siapa yang buta (tidak melihat bukti-bukti itu), maka (akibat buruknya) bagi dirinya sendiri, sedangkan aku (Nabi Muhammad) bukanlah pengawas(-mu). (al-An’am 104).

Pandangan Ibnu Taimiyah

Sebagaimana telah maklum, dari segi penamaan, para ulama kalam (mutakallimīn) memberi nama ‘mukjizat’ karena ketidakmampuan musuh-musuh nabi dalam menyainginya.

Ibnu Taimiyah (w. 728 H.) menuturkan bahwa Allah Swt. menyebut terminologi mukjizat dalam Al-Qur’an dengan istilah āyah, bayyinah, dan burhān sebagaimana yang banyak ditemukan dalam ayat dan surah Al-Qur’an. Dalam al-Jawāb al-Ṣaḥīḥ, Ibnu Taimiyah berkata: “Āyāt dan barāhīn dalam Al-Qur’an yang menunjukkan kenabian Nabi Muhammad Saw. sangat banyak dan beragam, jauh lebih banyak dari āyāt dan barāhīn yang menunjukkan kenabian nabi-nabi selainnya. Para ulama menyebutnya ‘mukjizat’, tetapi bisa juga disebut ‘dalāil al-nubūwah’ atau ‘a’lām al-nubūwah’. Lafaz-lafaz yang disebutkan oleh Al-Quran tersebut (āyah, bayyinah, burhān) tentunya lebih kuat (adalla ‘alā al-maqṣūd) dari pada lafaz mu’jizah. Itulah mengapa lafaz mu’jizah tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Yang disebutkan hanya lafaz āyah, bayyinah, dan burhān.” (1999: 5/412).

Mengomentari istilah dalāil al-nubūwah yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah, Dr. Hasan Dhiyauddin Itr (w. 1432 H.) berpandangan bahwa secara umum, Ibnu Taimiyah tidak membedakan antara mu’jizah dan dalāil al-nubūwah. Namun, pada dasarnya, jika melihat kepada dilālah lafzīyah, ada perbedaan di antara keduanya (Itr, 1994: 20). Ia kemudian mengutip Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H.) ketika menjelaskan Sahih Bukhari bab ‘Alāmāt al-Nubūwah dalam Fatḥ al-Bārī yang mengatakan: “Al-‘Alāmāt merupakan bentuk jamak dari ‘alāmah (tanda). Pengarang menggunakan redaksi alāmāt al-nubūwah karena lebih umum dari mu’jizah dan karāmah. Adapun perbedaan keduanya: lafaz mu’jizah lebih khusus. Mu’jizah menyaratkan adanya tantangan (taḥaddī) kepada orang-orang yang mengingkari nubūwah, dan juga adanya ketidakmampuan (‘azj) dari mereka yang mencoba untuk menentangnya.” (Itr, 1994: 21; al-Asqalani, 1379: 6/581).