Macam-Macam
Mukjizat
Al-Kafawi
mengklasifikasi mukjizat menjadi 3 macam: Mukjizat yang bersifat indrawi (al-Mu’jizah
al-Ḥissīyah), Mukjizat yang bersifat akli (al-Mu’jizah
al-‘Aqlīyah), Mukjizat yang bersifat perasaan (al-Mu’jizah
al-Zauqīyah al-Ḥadasīyah) (al-Kafawi, 1998: 150; al-Ashil, 2019: 20-21).
Al-Mu’jizah al-Ḥissīyah
adalah
mukjizat yang bersifat indrawi, dapat diakses oleh panca indra, seperti
menghidupkan orang mati yang merupakan mukjizat Nabi Isa As., atau memancarnya
air dari sela-sela jari-jari yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad Saw. Mukjizat seperti ini diperuntukkan bagi orang
awam.
Al-Mu’jizah
al-‘Aqlīyah
adalah mukjizat yang bersifat akli, dapat diakses oleh nalar akal manusia,
seperti mengetahui perkara-perkara gaib yang belum terjadi sebagai mukjizat Nabi
Muhammad Saw. Mukjizat seperti ini diperuntukkan kepada ulī al-albāb, yaitu
orang-orang cerdik pandai atau memiliki akal atas pemahaman yang benar.
Al-Mu’jizah
al-Zauqīyah al-Ḥadasīyah adalah mukjizat yang bersifat perasaan (zauq). Untuk
mengaksesnya, seseorang perlu menggunakan perasaan yang mendalam. Al-Qur’an
merupakan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. dapat masuk dalam
kategori ini. Keindahan-keindahan sastrawi Al-Qur’an yang dapat mengalahkan
karya sastra manapun dapat diakses oleh mereka yang memiliki ‘cita rasa’ yang
tinggi dalam memahaminya.
Beberapa ulama
lain seperti Dr. Hasan Dliyauddin Itr mengklasifikasi mukjizat hanya menjadi
dua macam: mukjizat indrawi dan mukjizat akli. Adapun mukjizat zauqī berdasarkan
klasifikasinya masuk dalam bagian mukjizat akli (Itr, 1994: 50).
Syarat-Syarat
Mukjizat
Dr. Hasan Dhiyauddin Itr menyebutkan 7 syarat mukjizat berdasarkan terminologi yang sudah dijelaskan di atas: (Itr, 1994: 21-22)
- Mukjizat terwujud atas kehendak dan kuasa Allah Swt. Tidak ada makhluk yang mampu mewujudkannya atau mendatangkan sesuatu yang menyerupainya. Al-Razi (w. 605 H.) mendefinisikan mukjizat dengan redaksi “amr” (sesuatu/perkara) agar dapat meliputi perkataan (qaul) seperti Al-Qur’an; perbuatan (fi’l) seperti memancarnya air dari sela-sela jari Rasulullah Saw.; dan diam atau tidak adanya perbuatan yang dilakukan (al-tark/adam al-fi’l) seperti Nabi Ibrahim yang secara otomatis kebal dan selamat dari bara api.
- Mukjizat harus berbeda dan berada di luar kebiasaan sehingga dapat terbebas dari keterikatan sebab musabab.
- Tidak ada yang mampu menyaingi atau membuat sesuatu yang menyamai. Inilah hakikat i’jāz (melemahkan).
- Mukjizat dibawa oleh utusan (rasul/nabi) yang membawa risalah nubūwah.
- Keberadaan mukjizat harus sesuai dengan pengakuan (da’wā) utusan yang membawanya. Jika ada seorang utusan mengakui bahwa ia memiliki mukjizat menghidupkan orang mati, dan ternyata yang dimilikinya adalah sesuatu selain menghidupkan orang mati, maka pada dasarnya sesuatu tersebut bukan mukjizat dan tidak dapat menunjukkan kebenarannya sebagai utusan lantaran tak sesuai dengan pengakuannya.
- Perkara yang diakui sebagai mukjizat tidak menyatakan bahwa utusan yang membawanya itu sedang berbohong. Jika ada seorang utusan mengaku bahwa ia dapat berbicara dengan seekor biawak, namun tiba-tiba biawak tersebut berbicara bahwa utusan itu berbohong, maka hal itu bukanlah mukjizat dan tentunya tidak dapat membenarkan nubūwahnya. Yang terjadi justru akan membuka kedok kebohongan orang yang mengaku-aku sebagai utusan tersebut.
- Keberadaan mukjizat tidak mendahului pengakuan seorang utusan, tetapi bersamaan dengan pengakuan itu. Mukjizat adalah pembenaran (taṣdīq) dari Allah bagi seorang utusannya. Maka tak masuk akal jika pembenaran lebih dahulu datang dari pada pengakuan nubūwah.
Yahya bin
Hamzah al-Alawi (w. 745 H.) dalam Al-Ījāz li Asrār Kitāb al-Ṭirāz, yang
kemudian dikutip oleh Adil al-Ashil, menambahkan satu syarat, yaitu kemunculan
mukjizat harus bersumber dari kejujuran dan kebijaksanaan (‘adl ḥakīm).
Menurutnya, syarat ini tidak boleh terlewatkan, sebab jika mukjizat harus
bersumber dari para pendusta, niscaya ia tidak memiliki bukti apapun untuk
membenarkan pendusta tersebut (al-Ashil, 2019: 30-31). Syarat ini pada dasarnya
sudah termasuk dalam tujuh syarat yang dikemukakan oleh Dr. Hasan Dhiyauddin
Itr tersebut.
Mukjizat, Sulap
dan Sihir
Ada beberapa
pembahasan yang menghubungkan antara mukjizat dengan sulap (ḥīlah) atau
sihir (sya’ważah). Pengaitan ini lantaran sulap dan sihir acap kali
disamakan dengan mukjizat dalam hal sebagai sesuatu yang khāriq li al-‘ādah,
padahal pada hakikatnya jauh berbeda.
Di dalam
terminologi bahasa Arab, sulap dan sihir terkadang diungkapkan menggunakan
istilah yang sama, yaitu siḥr, meski secara terminologi keduanya berbeda
(lihat entri ḥiyal dan sya’ważah dalam: Zaqzuq, 2003: 585 &
814). Sulap lebih kepada permainan ilusi atau tipuan dengan menggunakan
trik-trik tertentu atau kecepatan tangan (khiffah al-yad), bahkan
terkadang menggunakan zat-zat kimia dan rangkaian mekanik yang dapat menipu,
sedangkan sihir merupakan aktifitas perdukunan (kahānah) yang terkadang
dilakukan menggunakan media jimat dan mantra-mantra atas bantuan jin (lihat
entri ḥiyal dan sya’ważah dalam: Zaqzuq, 2003: 585 & 814).
Keduanya tentu berbeda dengan hakikat mukjizat yang memiliki sifat khāriq li
al-‘ādah.
Dalam memahami
hakikat sulap dan sihir, Dr. Hasan Dliyauddin Itr menjelaskan bahwa segala
sesuatu yang didatangkan oleh pesulap (aṣḥāb al-ḥiyal), penyihir atau
dukun (al-sāḥir wa al-kāhin) dan semua kalangan yang menentang kenabian
bukanlah sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia. Apa yang dilakukan oleh
kalangan jin, meski terlihat ajaib bagi manusia, pada hakikatnya bukanlah
sesuatu yang tidak mungkin bagi manusia itu sendiri. Perbedaannya hanya
terletak pada karakter dan medianya saja. Jin mungkin bisa terbang di udara,
bisa mengapung di lautan, bisa membawa benda-benda yang berat (seperti dalam
QS. al-Naml, 39), bisa mencelakai manusia, namun ia tetaplah makhluk lemah yang
bahkan bisa dikendalikan oleh manusia. Oleh sebab itu, sulap atau sihir apapun
yang menggunakan perantara jin pada hakikatnya tidaklah sama dengan mukjizat
yang berada di luar kuasa makhluk.
Apakah sulap
atau sihir termasuk khāriq li al-‘ādah? Ibnu Taimiyah, sebagaimana
dikutip oleh Dr. Hasan Dliyauddin Itr, pernah mengomentari hal ini: pertama,
aktivitas sihir dan perdukunan adalah sesuatu yang biasa (mu’tād) di
kalangan dukun dan penyihir, dan dianggap tidak biasa (khāriq li al-‘ādah)
bagi selain mereka. Kedua, aktivitas sihir dan perdukunan yang
mengandalkan bantuan jin merupakan sesuatu yang sering dijumpai di dunia dan
banyak diketahui oleh beberapa kalangan manusia. Ia bukan khāriq li al-‘ādah
bagi mereka, namun bisa disebut keajabian yang aneh (al-‘ajāib
al-garībah). Ketiga, sihir dan perdukunan merupakan aktivitas setan
(jin) yang diperbantukan untuk manusia. Oleh karenanya, aktivitas itu berada di
luar kebiasaan manusia (khārijah ‘ammā i’tādahū al-nās) (Itr, 1994: 42).
Paparan
tersebut memberikan pemahaman bahwa Ibnu Taimiyah memandang khāriq li
al-‘ādah sebagai sesuatu yang relatif. Sihir bukanlah khāriq li al-‘ādah
bagi kalangan jin dan penyihir, sedangkan bagi kalangan manusia biasa, sihir
merupakan khāriq li al-‘ādah. Pandangan ini ditentang oleh Dr. Hasan
Dliyauddin Itr lantaran tidak ada kepastian tentang batasan khāriq li
al-‘ādah. Menurutnya, khāriq li al-‘ādah adalah sesuatu yang
melampaui kemampuan manusia dan menyalahi hukum alam. Sihir bukanlah khāriq
li al-‘ādah karena masih terpaut pada pola sebab-akibat meski tak nampak
secara indrawi (Itr, 1994: 43).
Sihir bisa
disebut sebagai sesuatu yang ajaib, aneh dan ganjil, namun ia masih berada
dalam batas kemampuan manusia karena bisa dipelajari oleh siapa saja yang
menginginkannya. Hal ini yang membedakan antara sihir dan mukjizat. Kemampuan
sihir bisa dipelajari dan dilatih, sedangkan mukjizat tidak dapat dipelajari.
Ibnu Abi Syarif berkata: “Sihir bukanlah khāriq li al-‘ādah meski
beberapa kalangan menganggapnya demikian. Hal itu karena sihir masih terpaut
pada pola sebab-akibat, yaitu terwujudnya sesuatu masih bergantung pada suatu
sebab yang harus dilakukan sebagai manivestasi dari hukum alam (al-‘ādah
al-ilāhīyah). Seperti sembuhnya diare terpaut pada suatu sebab, yaitu minum
Scammonia (obat cacing); sembuhnya orang yang sakit terpaut pada obat. Hal
seperti ini bukanlah khāriq li al-‘ādah.”
Selain itu, Adil al-Ashil mengulas perbedaan antara mukjizat dan sulap atau sihir perspektif Yahya bin Hamzah al-Alawi. Ia mengungkapkan bahwa setidaknya ada 5 hal yang membedakan mukjizat dari sulap atau sihir (al-Ashil, 2019: 36; Taimiyah, 1348: 12, 202, 206, 207).
- Alat yang digunakan menjadi pembeda yang paling mendasar antara mukjizat dengan sulap atau sihir. Yahya al-Alawi (w. 745 H.) mengatakan bahwa sulap atau sihir dihasilkan melalui perantara bantuan alat yang digerakkan menggunakan trik-trik tertentu. Diriwayatkan bahwa permainan para penyihir Fir’aun tatkala mengubah tongkat dan tali menjadi ular sejatinya hanyalah trik sulap semata yang dikombinasikan dengan sains-kimia. Tongkat dan tali yang sejak awal memang dibentuk menyerupai ular dipadukan dengan air raksa dengan kadar tertentu sehingga bisa bergerak melejit layaknya ular. Orang-orang yang hadir pun mengira bahwa tongkat dan tali itu berubah menjadi ular sungguhan. Riwayat ini setidaknya dikemukakan oleh al-Maraghi saat menafsiri surah Al-A’raf 116 dan Thaha 66 (al-Maraghi, 1946: 9/30).
- Berbeda dengan mukjizat Nabi Musa As. Tatkala mendapatkan wahyu untuk melempar tongkatnya, maka tongkat itu berubah menjadi ular yang sesungguhnya: hewan yang bernyawa; bukan trik sulap berupa ilusi yang dapat memalingkan penghilatan semata. Oleh karena itu, saat mencoba membuktikan kemukjizat Nabi Musa, para penyihir itu sempat mengatakan bahwa jika memang tongkat Musa itu benar-benar mukjizat dari Tuhan, maka seharusnya tongkat itu tidak menyerupai ular. Ternyata, setelah diperhatikan oleh para penyihir tersebut, tongkat Musa itu hanyalah tongkat kayu biasa yang tidak ada bagian yang menyerupai ular (al-Ashil, 2019: 36; al-Alawi, 2006: 514).
- Mukjizat yang dibawa oleh seorang nabi atau utusan berasal dari tradisi atau budaya setempat sehingga masyarakat seharusnya telah mengetahui secara detail tentang hal ihwal budaya dan tradisinya sendiri. Jika ada klaim mukjizat dari seseorang, maka masyarakat dengan mudah mengonfirmasi kebenaran atau kebohongannya karena mereka sudah mengetahui detailnya. Berbeda dengan sihir atau sulap yang dapat menipu orang lain karena memang tidak mengetahuinya secara detail lantaran bukan berasal dari tradisi atau budaya mereka. Itulah mengapa Allah menitipkan mukjizat kepada para utusannya selalu menyesuaikan dengan zaman, tempat dan tradisi masyarakat di mana utusan itu berada. Maka mukjizat Nabi Muhammad berupa Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai sastra yang mengagumkan karena tradisi masyarakat Jahili kala itu adalah tradisi sastra. Mukjizat Nabi Musa berupa tongkat yang berubah menjadi ular dan lautan yang terbelah karena tradisi masyarakatnya adalah tradisi sihir. Dan mukjizat Nabi Isa berupa kemampuan menghidupkan orang mati karena tradisi masyarakatnya adalah tradisi kedokteran dan pengobatan. Begitu pula dengan mukjizat-mukjizat yang lain (Abbas, 2016: 12).
- Mukjizat tidak ada yang mampu menandingi atau mendatangkan sesuatu yang menyamai, sedangkan sulap atau sihir, seringkali dua orang atau lebih dapat mendatangkan sihir atau sulap yang sama.
- Mukjizat selalu di luar kebiasaan, sedangkan sihir atau sulap, terkadang tidak bertentangan dengan kebiasaan. Bahkan terkadang sihir dan sulap sudah dianggap biasa dalam masyarakat sekalipun tidak masuk akal.
- Mukjizat tidak dapat ditiru dan dipelajari, sedangkan sihir atau sulap dapat ditiru dan dipelajari.
Abbas,
Fadhl Hasan. I’jāz al-Qur’ān al-Majīd. (Amman Yordania: Dar al-Nafais,
2016).
Al-Alawi,
Yahya bin Hamzah. Al-Ījāz li Asrār Kitāb al-Ṭirāz. (Dar al-Midar
al-Islami, 2006).
Al-Ashil,
Adil. Mafhūm al-Mu’jizah ‘inda Ulamā’ al-I’jāz al-Balāgī. (Madinah
al-Munawwarah: Mathba’ah Waraqah Bilal, 2019).
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar. Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1379).
Al-Kafawi,
Abu al-Baqa’. al-Kullīyāt: Mu’jam fī al-Muṣṭalaḥāt wa al-Furūq al-Lugawīyah.
(Bairut: Muassasah al-Risalah, 1998).
Al-Maraghi,
Ahmad Mushthafa. Tafsīr al-Marāgī. (Mesir: Syirkah Muashthafa al-Babi
al-Halabi, 1946).
Al-Rumi,
Fahd. Dirāsāt fī ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm. (Riyadh: Maktabah al-Malik
Fahd: 2005).
Al-Safarini,
Syamsuddin. Lawāmi’ al-Anwār al-Bahīyah. (Damaskus: Muassasah āafiqin,
1982).
Al-Suyuthi,
Jalaluddin. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ā. (Mesir: Hai’ah al-Mishriyah
al-Ammah: 1974).
Al-Syarif
al-Jurjani, Ali bin Muhammad. Al-Ta’rīfāt. (Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah: 1983).
Al-Zarqani,
Muhammad Abdul Adzim. Manāhil al-‘Irfān fī Ulūm al-Qur’ān. (Mesir:
Mathba’ah Isa al-Babi a-Halabi: tt).
Darwisy,
Ahmad dan Izzah Jadwa’. Al-Balāgah al-Qur’ānīyah: Dirāsah fī Jamāliyāt al-Naṣ
al-Qur’ānī. (Mesir: Maktabah al-Rusyd, 2010).
Itr,
Hasan Dhiyauddin. Al-Mu’jizah al-Khālidah. (Bairut: Dar al-Basyair
al-Islami, 1994).
Taimiyah,
Taqiyuddin Ibnu. Al-Jawāb al-Ṣaḥīḥ li Man Baddala Dīn al-Masīḥ. (Saudi:
Dar al-Ashimah, 1999).
Taimiyah,
Taqiyuddin Ibnu. Al-Nubūwāt. (Mesir: Al-Muniriyah, 1348).
Zaqzuq,
Muhammad Hamdi. Mausū’ah al-Mafāhīm al-Islāmīyah al-Āmmah. (Kairo:
Wizārah al-Auqāf al-Miṣrīyah, 2003).