Pada mulanya, tulisan aksara Arab tidak memiliki sistem harakat. Pada masa Rasulullah, aksara Arab yang berkembang adalah aksara dengan tipografi (khaṭ) Kufi yang menurut banyak sumber berasal dari khaṭ Anbar atau khaṭ Nabathi. Sistem aksara tanpa harakat seperti ini terus mengalami perkembangan seiring kebutuhan terhadap sistem tipografi yang lebih baik hingga pada akhirnya sistem harakat mulai dirumuskan dan diperkenalkan oleh Abu al-Aswad al-Du’ali.
Abu al-Aswad al-Du’ali adalah seorang Tabi’in Mukhḍaram. Ia hidup pada
tiga masa; masa Jahiliyah sebelum Nabi diutus menjadi Rasul, masa Ṣadrul Islām
(masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin) dan masa dinasti Umayah. Kendati ia
masuk Islam pada masa Rasulullah, ia bukan sahabat, karena ia tidak pernah
bertemu dengan Rasulullah dan menyatakan Islamnya di hadapan Rasulullah. Ia
hanya bertemu dengan para sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib. Oleh karenanya,
ia tergolong dalam kalangan para tabi’in.
Kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ia belajar banyak hal, termasuk belajar
tentang kaidah bahasa Arab yang belum terbakukan. Hingga pada saat Ali bin Abi
Thalib wafat pun, ia terus fokus meneruskan ilmu nahwu yang ia peroleh dari
gurunya itu. Sampai-sampai ia tidak sempat mengajarkannya kepada orang lain.
Pada awal masa Umayah, Abu al-Aswad suatu saat berjalan di lorong kota
Basrah, tiba-tiba ia bertemu dengan seseorang yang sedang membaca Al-Qur’an
tepat pada surah al-Taubah ayat 3. Orang itu membaca, “Innallāha barī’un min al-musyrikīn wa rasūlihī”.
Mendengar bacaan orang tersebut yang salah, seharusnya lafaz Rasūlihī
dibaca damah; Rasūluhū, Abu al-Aswad bergumam pada dirinya sendiri, ia
khawatir kesalahan tersebut semakin parah dan nantinya akan merusak keaslian Al-Qur’an.
Menurutnya, kesalahan tersebut diakibatkan oleh tidak adanya tanda penulisan
yang jelas dalam tulisan Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an.
Akhirnya, ia menyadari bahwa ia harus menyalurkan apa yang telah ia pelajari
dari Ali bin Abi Thalib.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung bergegas menemui Ziyad, gubernuh Basrah saat itu. Setelah bertemu, ia berkata kepada Ziyad, “Bisakah aku
didatangkan seseorang yang bisa menulis tulisan Arab?” pinta Abu al-Aswad.
“Baik!” Ziyad menyambutnya dengan antusias.
Ziyad pun memanggil seorang penulis dari kabilah Abdul Qais, namun Abu al-Aswad menolaknya,
ia meminta yang lain. Kemudian, Ziyad mendatangkan seratus orang penulis untuk
menghadap kepada Abu al-Aswad sesuai permintaanya. Ia
mempersilahkan Abu al-Aswad memilih salah satu dari seratus orang tersebut.
Akhirnya, Abu al-Aswad memilih seorang laki-laki dari suku Quraisy.
Setelah keduanya berhadapan, Abu al-Aswad meminta orang itu mengambil mushaf Al-Qur’an.
“Ambillah mushaf Al-Qur’an beserta pena yang warna tintanya
berbeda dengan warna tulisan mushaf itu!” perintah Abu al-Aswad.
Setelah orang itu mendapatkan mushaf dan pena tersebut, Abu al-Aswad
melanjutkan, “Lihatlah diriku! Aku akan membacakan Al-Qur’an.”
“Baik!” timpal orang yang ada di hadapan Abu al-Aswad itu.
“Perhatikan! Jika engkau melihat mulutku terbuka (infataḥat), maka berilah
satu titik di atas huruf itu. Jika mulutku melingkar dan mancung kedepan (inḍammat), maka berilah
satu titik di samping huruf itu. Jika engkau melihat mulutku memecah (inkasarat),
maka berilah satu titik di bawah huruf itu. Dan jika engkau mendengar sesuatu yang berdengung (tanwīn) di antara
ketiganya, maka tambahlah satu titik lagi hingga menjadi dua titik!” perintah
Abu al-Aswad dengan teliti.
“Baiklah!” jawabnya.
Lalu, Abu al-Aswad pun mulai membacakan Al-Qur’an, sedangkan orang yang ada di
hadapannya memperhatikan dengan seksama. Setelah semuanya rampung, barulah
tersebar ke seantero negeri, sebuah mushaf baru dengan syakal titik ala Abu
al-Aswad al-Du’ali.
Sumber:
Abu Sa’id al-Sairafi, Akhbār al-Naḥwīyīn
al-Baṣrīyīn.
Ibnu Asakir, Tārīkh Dimasyqa.