Sang Penemu Ilmu Nahwu


Beberapa riwayat mengatakan bahwa Abu al-Aswad al-Du’ali adalah orang pertama yang merumuskan ilmu nahwu. Dialah orang yang pertama kali menyusun teori bahasa Arab menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan secara struktural, meski dalam beberapa riwayat tersebut inisiatifnya berawal dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang kemudian diteruskan oleh Abu al-Aswad al-Du’ali.

Para ulama menggolongkan Abu al-Aswad al-Du’ali dalam kalangan tabiin yang hidup pada masa Ali bin Abi Thalib. Ia menjadi murid Ali bin Abi Thalib dan banyak belajar kepadanya.

Abu al-Abbas Muhammad bin Yazid pernah bercerita bahwa suatu ketika ada seseorang yang bertanya kepada Abu al-Aswad al-Du’ali tentang siapa yang memberikan inspirasi dan membimbing dalam merumuskan ilmu gramatika Arab tersebut? Abu al-Aswad pun menjawabnya bahwa ia banyak mendapatkan inisiatif dan inspirasi dari Ali bin Abi Thalib.

Mengenai pertama kali yang menjadi latar belakang Abu al-Aswad merumuskan Ilmu nahwu, ada beberapa kisah dari berbagai sumber riwayat, sebagai berikut:

Riwayat Pertama

Dalam riwayat yang disampaikan oleh Ya’qub al-Hadlrami, diceritakan bahwa suatu saat, Abu al-Aswad berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib untuk menemuinya. Ketika keduanya bertemu, Abu al-Aswad melihat sesuatu yang berbeda dari Ali bin Abi Thalib. Ia melihat gurunya tersebut sedang memikirkan sesuatu hingga membuatnya seperti sedang didera suatu masalah besar. Abu al-Aswad bertanya, “apa yang sedang engkau pikirkan, Ya Amirul Mukminin?!”

“Aku mendengar kabar bahwa bahasa Arab mulai ada kerusakan.” Ali bin Abi Thalib diam sejenak, lalu melanjutkan, “Aku ingin menulis sebuah kitab yang menjelaskan dasar-dasar kaidah bahasa Arab!” serunya.

Abu al-Aswad menimpali, “Jika engkau ingin melakukan demikian, sungguh itu sangat baik untuk menjaga bahasa kita.”

Ali bin Abi Thalib manggut-manggut mendengar dukungan dari Abu al-Aswad. Keduanya pun melanjutkan pembicaraan dengan pembahasan yang bermacam-macam. Setelah cukup lama, Abu al-Aswad pamit lalu pulang ke rumahnya.

Selang beberapa hari, Abu al-Aswad kembali berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setibanya di rumah Ali, Abu al-Aswad langsung disodorkan selembar kertas yang berisi tulisan tentang pembagian kalam yang terbagi menjadi tiga macam; isim, fi’il dan huruf.

Sejenak Abu al-Aswad membaca isi lembaran tersebut, lalu Ali bin Abi Thalib berkata kepadanya, “Teruskanlah, buatlah teori-teori lain yang membahas dasar-dasar kaidah bahasa Arab secara sistematis!” perintahnya.

“Baik!” jawab Abu al-Aswad.

Setelah menerima mandat dari Ali bin Abi Thalib, Abu al-Aswad pun mulai merumuskan dan mengumpulkan teori-teori ilmu nahwu.

Saat pertama kali Abu al-Aswad memperlihatkan hasil temuannya, Ali bin Abi Thalib memujinya, “Mā aḥsana hāżā al-naḥwa alladzī naḥauta!” (alangkah bagusnya contoh yang engkau rumuskan ini!).

Dari peristiwa itulah, disiplin ilmu bahasa Arab ini kemudian disebut ilmu Nahwu.

Sejak saat itu, secara berkala, Abu al-Aswad memperlihatkan dan menyetorkan teori-teori yang ia rumuskan kepada Ali bin Abi Thalib.

Riwayat Kedua

Suatu hari, saat cuaca sedang panas menyengat, Abu al-Aswad tengah duduk bersama putrinya. Mereka berdua ngobrol santai layaknya obrolan seorang ayah dan anak pada umumnya.

Karena cuaca waktu itu sangat panas, putri Abu al-Aswad merasa kegerahan dan tidak tahan dengan hawa yang ia rasakan. Ia pun pelan-pelan bergumam, “Mā asyaddu al-ḥarri”, dengan dibaca rafa’ dan dijadikan iḍāfah sehingga memiliki makna istifhām (pertanyaan; apa yang sangat panas?), padahal yang ia inginkan adalah ta’ajjub (ketakjuban: alangkah panasnya!).

Mendengar kalimat yang dilontarkan putrinya berupa pertanyaan, Abu al-Aswad pun menjawab, “Yang sangat panas itu adalah cuaca yang kita rasakan hari ini, nduk!” seru Abu al-Aswad sambil tersenyum.

Sang putri pun kebingungan, ia tidak mengerti jalan percakapan itu. Ia berkata apa, jawaban ayahnya juga apa. Akhirnya, sang putri mereka-reka hingga menampakkan wajah dan gelagat kebingungan di hadapan sang ayah.

Abu al-Aswad langsung tanggap. Ia bisa membaca apa yang sedang putrinya rasakan. Ia tersenyum dan paham bahwa putrinya ingin mengatakan dengan bentuk ta’ajjub, bukan bentuk istifhām. Ia berkata kepada putrinya, “Nduk, Katakan mā asyadda al-ḥarra, bukan mā asyaddu al-ḥarri”.

Abu al-Aswad melanjutkan penjelasan mengenai perbedaan antara bentuk istifhām dan ta’ajjub secara lafaz dan makna, serta dalam konteks kalimat yang diucapkan oleh putrinya tersebut. Sang putri pun manggut-manggut mendengarkan penjelasan ayahnya.

Sejak kejadian itulah, Abu al-Aswad melihat ada sesuatu yang sangat penting yang perlu dirumuskan dan dirancang dalam sebuah teori. Konon, sejak peristiwa itu, ia mulai merumuskan pembahasan ta’ajjub, fā’il, maf’ūl, dan pebahasan-pembahasan lainnya.

Riwayat Ketiga

Kisah ini terjadi pada awal masa pemerintahan dinasti Umayah yang sedang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Suatu saat, Abu al-Aswad al-Du’ali berkunjung kepada dua sahabatnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ziyad bin Abih yang sedang menjabat sebagai gubernur Basrah.

Sesampainya di Basrah dan bertemu dengan keduanya, ia memulai pembicaraan, “Aku melihat, sepertinya bahasa Arab sudah terkontaminasi bahasa asing. Bahasa orang-orang Arab mulai hilang keasliannya dan mulai rusak.” Sejenak ia menghela nafas, lalu melanjutkan, “Apakah engkau mengizinkanku untuk merancang sebuah rumusan dan teori baru yang akan menjadi rujukan orang Arab untuk menjaga keaslian bahasa mereka?”

“Tidak perlu!” jawab Ziyad. Ia tidak mengizinkan Abu al-Aswad membuat teori itu.

Selang beberapa hari pasca pertemuan Abu al-Aswad dengan Ziyad, tiba-tiba ada seorang pemuda yang datang menghadap kepada Ziyad yang saat itu menjabat sebagai gubernur. Pemuda tersebut hendak mengabarkan kematian ayahnya kepada Ziyad. Lalu, ia berkata, “tuwuffiya abānā wa taraka banūna.

Mendengar apa yang disampaikan oleh pemuda tersebut, muncul tanda tanya di benak Ziyad. Ia merasa apa yang disampaikan pemuda itu terdapat kesalahan. Seharusnya, “tuwuffiya abūnā wa taraka banīna.

Tanpa basa-basi, Ziyad langsung menyuruh pemuda itu memanggil Abu al-Aswad al-Du’ali. Tak lama setelah pemuda itu pergi, Abu al-Aswad pun datang.

“Buatlah teori bahasa Arab yang engkau inginkan kemarin!” Perintah Ziyad kepada Abu al-Aswad.

 

Sumber:

Abu Bakar al-Zubaidi, Ṭabaqāt al-Naḥwīyīn wa al-Lugawīyīn.

Sayyid Khidlir, Ṭarāif wa Nawādir min Siyar al-Lugawīyīn wa al-Nuḥāt.