Di antara kehebatan Al-Qur’an adalah mampu mengilustrasikan (taṣwīr) dengan halus dan indah segala hal yang ingin diungkapkannya, dari hewan, tumbuhan, benda-benda mati, sampai hal-hal yang bersifat abstrak sebagai salah satu cara untuk menghadirkan makna yang berkesan kepada pembaca atau pendengar.
Untuk mengungkapkan makna ‘indah’, Al-Qur’an -di
antaranya- menggunakan kata Jamāl atau yang seakar dengannya. Jamāl secara bahasa bermakna indah,
bagus, halus, elok, cantik, dan bercahaya. Tidak banyak derivasi kata jamāl
di dalam Al-Qur’an. Hanya ada dua, yaitu dalam bentuk maṣdar: jamāl dan
dalam bentuk ṣifah musyabbahah: jamīl.
Keindahan yang diungkapkan menggunakan pilihan kata jamāl di dalam Al-Qur’an memiliki dua pemaknaan:
Keindahan indrawi atau empiris; yang dapat dilihat dan dinikmati oleh panca indra
Allah berfirman dalam al-Nahl 6:
وَالْاَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيْهَا دِفْءٌ
وَّمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ (5). وَلَكُمْ فِيْهَا جَمَالٌ حِيْنَ
تُرِيْحُوْنَ وَحِيْنَ تَسْرَحُوْنَۖ (6).
(5) Dia telah menciptakan
hewan ternak untukmu. Padanya (hewan ternak itu) ada (bulu) yang menghangatkan
dan berbagai manfaat, serta sebagian (daging)-nya kamu makan. (6) Kamu
memperoleh keindahan padanya ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan
ketika melepaskannya (ke tempat penggembalaan).
Keindahan di dalam ayat ini adalah pemandangan
yang indah pada hewan-hewan ternak ketika digiring pada pagi hari dan dilepas
menuju tempat gembala. Demikian pula ketika sore hari, hewan-hewan itu digiring
kembali menuju kandangnya.
Al-Razi menjelaskan bahwa keindahan ini sering dijumpai pada musim semi ketika hujan mulai turun, rerumputan mulai tumbuh, dan orang-orang Arab mulai keluar mencari makanan untuk hewan ternaknya. Maka ketika perut hewan-hewan itu sudah terisi, suara kambing dan unta saling menjawab satu sama lain lantaran bergembira karena kenyang. Sang pemilik pun senang melihat pemandangan tersebut. Mereka merasa senang dan tenang melihat tingkah dan gerak-gerik hewan ternaknya, mendengar suara yang saling bersahutan satu sama lain. Menjadikan pemandangan itu suatu keindahan yang dapat mendatangkan kepuasan dan ketenangan batin para penggembala.
Keindahan maknawi; yang melampaui keindahan materi.
Lafaz jamīl juga digunakan untuk
mengungkapkan keindahan yang bersifat maknawi. Keindahan yang melampaui
keindahan materi atau indrawi.
Lafaz jamīl yang memiliki makna
keindahan secara maknawi seperti ini dijadikan sifat -di antaranya- bagi
kesabaran (ṣabr) seperti frasa dalam Al-Qur’an ‘sabar itu indah’ yang
menunjukkan keindahan jiwa sebagaimana dalam Yusuf 83 dan al-Ma’arij 5:
قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ اَنْفُسُكُمْ
اَمْرًاۗ فَصَبْرٌ جَمِيْلٌ ۗعَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّأْتِيَنِيْ بِهِمْ جَمِيْعًاۗ
اِنَّهٗ هُوَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ (83).
(83) Dia (Ya‘qub)
berkata, “Sebenarnya hanya dirimu sendiri yang memandang baik urusan (yang buruk)
itu. (Kesabaranku) adalah kesabaran yang baik/indah. Mudah-mudahan Allah
mendatangkan mereka semua kepadaku. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
تَعْرُجُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ اِلَيْهِ
فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهٗ خَمْسِيْنَ اَلْفَ سَنَةٍۚ (4) فَاصْبِرْ صَبْرًا
جَمِيْلًا (5) اِنَّهُمْ يَرَوْنَهٗ بَعِيْدًاۙ (6) وَّنَرٰىهُ قَرِيْبًاۗ (7).
(4) Para malaikat dan Rūḥ
(Jibril) naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu
tahun. (5) Maka, bersabarlah dengan kesabaran yang baik. (6) Sesungguhnya
mereka memandangnya (siksaan itu) jauh (mustahil terjadi). (7) sedangkan Kami
memandangnya dekat (pasti terjadi).
Sayyid Qutub menjelaskan: al-Ṣabr al-Jamīl
adalah sabar yang tenang, yang tidak diiringi oleh amarah, kebencian,
kerisauan, dan keraguan. Kesabaran seseorang yang rida atas takdir Allah. Yang
merasakan adanya hikmah di balik setiap cobaan. Kesabaran yang seperti ini
adalah kesabaran yang indah.
Lafaz jamīl juga di jadikan sifat bagi
ampunan (al-ṣafḥ al-jamīl), penyerahan (sarāḥan jamīlā), dan
menghindar atau meninggalkan sesuatu (hajran jamīlā), seperti dalam
al-Hijr 85, al-Ahzab 49, dan al-Muzzammil 10:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا
بَيْنَهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّۗ وَاِنَّ السَّاعَةَ لَاٰتِيَةٌ فَاصْفَحِ
الصَّفْحَ الْجَمِيْلَ (85).
(85) Kami tidak
menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, melainkan
dengan benar. Sesungguhnya kiamat pasti akan datang. Maka, maafkanlah (mereka)
dengan cara yang baik.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا
نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ
تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَاۚ
فَمَتِّعُوْهُنَّ وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا (49).
(49) Wahai orang-orang
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukminat, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak ada masa idah atas mereka
yang perlu kamu perhitungkan. Maka, berilah mereka mutah (pemberian) dan
lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.
وَاصْبِرْ عَلٰى مَا يَقُوْلُوْنَ وَاهْجُرْهُمْ
هَجْرًا جَمِيْلًا (10).
(10) Bersabarlah (Nabi
Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara
yang baik.
Ampunan, penyerahan, dan menghindari sesuatu
dengan cara yang indah diartikan secara maknawi, yaitu perwujudan dari muamalah
atau pergaulan yang baik dengan orang lain. Ketika seseorang mengampuni
kesalahan orang lain, maka hendaklah mengampuni dengan cara yang baik. Dengan sekiranya
tidak diiringi oleh kata-kata atau sikap yang menghina dan menyakiti. Begitu
pula ketika ada orang yang berkata kasar atau mendebat kita dengan cara yang
tidak baik, maka sebaiknya menghindari mereka tidak dengan membalas kata-kata
kotor, namun dengan cara yang elegan: yaitu menghindari tanpa harus beradu
caci-maki.
Coba perhatikan, sikap kebaikan dalam pergaulan
seperti di atas digambarkan oleh Al-Qur’an dengan pilihan kata jamīl: indah.
Hal ini seakan menjadi sebuah ilustrasi bahwa sikap-sikap kebaikan dalam
pergaulan tersebut merupakan suatu keindahan laksana pemandangan yang indah.
Bagaimana pemandangan yang indah? Tentu orang yang melihatnya akan merasa
senang. Pemandangan yang indah akan memberikan efek positif bagi orang lain.
Tentunya, mereka yang berperangai baik dalam pergaulan akan senantiasa terlihat
indah dan elegan, dan ia akan dikenal sebagai sosok yang dapat memancarkan
kebaikan dan menularkan energi positif kepada orang lain.
Sumber:
Nadzir Hamdan. Al-Ẓāhirah al-Jamālīyah fī al-Qur’ān
al-Karīm. Jedah: Dar al-Manarah. 1991.
Sayyid Qutub. Fī Ẓilāl al-Qur’ān.
Bairut: Dar al-Syuruq. 1412.