Sekat Pemisah: Al-Hadid 12-15

 


Sesuatu yang kontras dalam kehidupan terkadang lahir dari rahim yang sama, berproses dalam lingkungan yang sama, tumbuh dalam buaian yang sama, namun pada akhirnya menghasilkan goal yang berbeda. Itulah mungkin yang perlu kita pahami sebagai bagian dari sunnah alam semesta. Bahwa apa yang bersama kita dalam kehidupan ini tidak mesti sama dengan kita.

Pada musimnya, pohon-pohon mangga dari jenis terbaiknya mekar berbunga lalu berbuah sempurna. Tampak buah mangga bergelantungan dan dengan mudahnya dapat dipetik oleh pemiliknya sesuka yang ia pilih. Namun sebaik apapun pohon mangga menghasilkan banyak buah terbaiknya, pasti di antara buah itu ada yang gagal. Jika tidak gagal dengan sendirinya, ia gagal karena faktor lain yang menggagalkan: di makan kelelawar, misalnya.

Beberapa waktu lalu saya membeli 3 kg buah jeruk dari toko buah ternama di Surabaya. Kualitas buah yang dijual di toko tersebut selalu terjamin dan sudah terbukti oleh konsumen yang mempercayainya hingga saat ini. 3 kg buah jeruk yang saya beli itu jika dihitung mungkin ada sekitar 16 buah dengan ukuran agak besar.

Seperti biasa, pembeli dapat mengambil dan memilih buah sendiri sesuai keinginannya. Lalu menimbang dan membayarnya di kasir. Namun, ada sesuatu yang tak seperti biasanya. Jenis jeruk yang biasa saya beli tersebut kini dipisah menjadi dua, dengan nama yang sama namun harga sedikit berbeda. Saya bertanya kepada salah satu karyawan di sana. Apa bedanya? Apakah masih sama seperti yang saya beli sebelumnya? Karyawan itu menjawab, jenis itu masih sama seperti yang kemarin, namun yang sebelah kanan (hanya dipisah oleh sekat kardus), sedikit lebih kecut dan tidak terlalu manis. Mengapa berbeda? Apakah jenisnya berbeda dan tempat tanamnya juga berbeda? Karyawan itu kembali menjawab, jenis keduanya sama dan diimpor dari negara yang sama pula. Bedanya hanya dipenyortiran. Jeruk yang dijual kemarin tidak disortir terlebih dahulu karena semua jeruk dengan jenis ini yang masuk ke toko kualitasnya rata-rata sama. Meski ada yang kecut namun itu sedikit sekali. Sedangkan jeruk yang dijual sekarang harus disortir dan dipisahkan karena banyak di antaranya yang kecut dengan kualitas yang lebih menurun. Saya mengangguk paham kemudian melanjutkan memilih buah yang lain.

Sambil berjalan di antara lorong dan rak supermarket, saya sempat termenung. Berpikir tentang sesuatu yang baru saja saya temui. Jeruk dengan jenis yang sama, berasal dari tempat yang sama, diproses dengan cara yang sama, pada akhirnya harus dipisah oleh sekat lantaran dinilai kualitasnya berbeda.

Apakah hal itu juga terjadi kepada manusia? Tiba-tiba saya teringat beberapa ayat dalam surah al-Hadid yang menggambarkan kondisi fisikal antara orang-orang beriman dengan orang-orang munafik kelak pada hari kiamat.

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ يَسْعٰى نُوْرُهُمْ بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ بُشْرٰىكُمُ الْيَوْمَ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُۚ (12). يَوْمَ يَقُوْلُ الْمُنٰفِقُوْنَ وَالْمُنٰفِقٰتُ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوا انْظُرُوْنَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُّوْرِكُمْۚ قِيْلَ ارْجِعُوْا وَرَاۤءَكُمْ فَالْتَمِسُوْا نُوْرًاۗ فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُوْرٍ لَّهٗ بَابٌۗ بَاطِنُهٗ فِيْهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهٗ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُۗ (13). يُنَادُوْنَهُمْ اَلَمْ نَكُنْ مَّعَكُمْۗ قَالُوْا بَلٰى وَلٰكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ اَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْاَمَانِيُّ حَتّٰى جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ وَغَرَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ (14). فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَّلَا مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ مَأْوٰىكُمُ النَّارُۗ هِيَ مَوْلٰىكُمْۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ (15).

(12) Pada hari engkau akan melihat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka,) “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai (dan) mereka kekal di dalamnya. Demikian itulah kemenangan yang sangat agung.”

(13) Pada hari (itu juga) orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami! Kami ingin mengambil cahayamu.” (Kepada mereka) dikatakan, “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu, di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di luarnya ada azab.

(14) Orang-orang (munafik) memanggil mereka (orang-orang beriman), “Bukankah kami dahulu bersama kamu?” Mereka menjawab, “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri (dengan kemunafikan), menunggu-nunggu (kebinasaan kami), meragukan (ajaran Islam), dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah. (Setan) penipu memperdayakanmu (sehingga kamu lalai) terhadap Allah.

(15) Pada hari ini tidak akan diterima tebusan darimu maupun dari orang-orang yang kufur. Tempatmu adalah neraka. Ia adalah tempat berlindungmu dan seburuk-buruk tempat kembali.”

Setelah mebaca ayat 12 sampai 15 beserta artinya, cobalah fokus pada ayat 13: “Pada hari itu juga, orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman...”

Al-Samarra’i menjelaskan perihal mengapa Al-Qur’an perlu menyebutkan secara terpisah antara orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan. Mengapa tidak cukup mengatakan al-munāfiqīn saja yang secara universal dapat mencakup laki-laki dan perempuan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa masing-masing dari keduanya akan mendapatkan balasannya, dan mereka tidak akan mendapatkan pertolongan lantaran adanya hubungan kekerabatan atau pernikahan. Maka tak mungkin seorang suami yang munafik mendapatkan pertolongan dari istrinya yang mu’minah. Atau mungkin sebaliknya. Tak mungkin seorang istri yang munafik akan selamat dari balasannya lantaran saat di dunia ia satu keluarga dengan suaminya, saudaranya atau ayahnya yang mu’min. Mereka akan terpisah. Masing-masing dan sendiri-sendiri.

“Lalu, di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di luarnya ada azab.”

Mungkin di dunia kita hidup bersama, bersaudara, berkerabat dan berkeluarga. Bahkan kita berasal dari rahim yang sama, dari tanah yang sama, dari kelompok yang sama, dari organisasi yang sama. Mungkin di dunia kita memiliki komitmen yang kuat untuk selalu bersama sampai kapanpun. Persaudaraan dan persahabatan kita di dunia dibangun di atas kesetiaan yang dijunjung tinggi. Komitmen untuk selalu saling menjaga dan tolong menolong satu sama lain. Namun di hari pembalasan nanti, kita akan bertemu dengan pagar pemisah itu.

Tragisnya, ayat tersebut menggambarkan bahwa pemisahan itu sebatas menggunakan pagar dinding. Sebelah dalam penuh rahmat, sebelah luarnya penuh azab. Seperti sekat buah jeruk yang saya ceritakan tadi. Sebelahnya berisi jeruk dengan kualitas yang baik, sebelahnya lagi berisi jeruk dengan kualitas kurang baik. Sekalipun berasal dari pohon yang sama, pada akhirnya terpisahkan juga.

Al-Qur’an selalui berhasil membuat pembacanya berimajinasi. Sayyid Quthub dengan teori taṣwīr fannī-nya mengurai bahwa di antara ayat Al-Qur’an ada yang memiliki pola ilustratif, yaitu menjelaskan sesuatu tak hanya dengan konsep-konsep yang bisa dicerna oleh piranti akal pikiran, namun juga dapat diakses dan dirasakan oleh panca indera sehingga terasa lebih nyata.

Saya membayangkan dan berimajinasi. Jika suatu saat saya bepergian, lalu pulang kembali ke rumah, namun pintu rumah terkunci. Seluruh keluarga saya ada di dalam, ibu, saudara, dan orang-orang terkasih. Saya mencoba menggedor pintu. Meminta agar dibuka. Tapi tak ada satupun yang mau membuka. Sehari, dua hari, dan seterusnya. Terasing dan terkucilkan.