Sesuatu yang kontras dalam kehidupan terkadang lahir dari rahim yang sama, berproses dalam lingkungan yang sama, tumbuh dalam buaian yang sama, namun pada akhirnya menghasilkan goal yang berbeda. Itulah mungkin yang perlu kita pahami sebagai bagian dari sunnah alam semesta. Bahwa apa yang bersama kita dalam kehidupan ini tidak mesti sama dengan kita.
Pada
musimnya, pohon-pohon mangga dari jenis terbaiknya mekar berbunga lalu berbuah
sempurna. Tampak buah mangga bergelantungan dan dengan mudahnya dapat dipetik
oleh pemiliknya sesuka yang ia pilih. Namun sebaik apapun pohon mangga
menghasilkan banyak buah terbaiknya, pasti di antara buah itu ada yang gagal.
Jika tidak gagal dengan sendirinya, ia gagal karena faktor lain yang
menggagalkan: di makan kelelawar, misalnya.
Beberapa
waktu lalu saya membeli 3 kg buah jeruk dari toko buah ternama di Surabaya. Kualitas
buah yang dijual di toko tersebut selalu terjamin dan sudah terbukti oleh
konsumen yang mempercayainya hingga saat ini. 3 kg buah jeruk yang saya beli itu
jika dihitung mungkin ada sekitar 16 buah dengan ukuran agak besar.
Seperti
biasa, pembeli dapat mengambil dan memilih buah sendiri sesuai keinginannya. Lalu
menimbang dan membayarnya di kasir. Namun, ada sesuatu yang tak seperti
biasanya. Jenis jeruk yang biasa saya beli tersebut kini dipisah menjadi dua,
dengan nama yang sama namun harga sedikit berbeda. Saya bertanya kepada salah
satu karyawan di sana. Apa bedanya? Apakah masih sama seperti yang saya beli sebelumnya?
Karyawan itu menjawab, jenis itu masih sama seperti yang kemarin, namun yang
sebelah kanan (hanya dipisah oleh sekat kardus), sedikit lebih kecut dan tidak
terlalu manis. Mengapa berbeda? Apakah jenisnya berbeda dan tempat tanamnya
juga berbeda? Karyawan itu kembali menjawab, jenis keduanya sama dan diimpor
dari negara yang sama pula. Bedanya hanya dipenyortiran. Jeruk yang dijual
kemarin tidak disortir terlebih dahulu karena semua jeruk dengan jenis ini yang
masuk ke toko kualitasnya rata-rata sama. Meski ada yang kecut namun itu
sedikit sekali. Sedangkan jeruk yang dijual sekarang harus disortir dan
dipisahkan karena banyak di antaranya yang kecut dengan kualitas yang lebih
menurun. Saya mengangguk paham kemudian melanjutkan memilih buah yang lain.
Sambil
berjalan di antara lorong dan rak supermarket, saya sempat termenung. Berpikir tentang
sesuatu yang baru saja saya temui. Jeruk dengan jenis yang sama, berasal dari
tempat yang sama, diproses dengan cara yang sama, pada akhirnya harus dipisah
oleh sekat lantaran dinilai kualitasnya berbeda.
Apakah
hal itu juga terjadi kepada manusia? Tiba-tiba saya teringat beberapa ayat
dalam surah al-Hadid yang menggambarkan kondisi fisikal antara orang-orang
beriman dengan orang-orang munafik kelak pada hari kiamat.
يَوْمَ
تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ يَسْعٰى نُوْرُهُمْ بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ
وَبِاَيْمَانِهِمْ بُشْرٰىكُمُ الْيَوْمَ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا
الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُۚ (12). يَوْمَ
يَقُوْلُ الْمُنٰفِقُوْنَ وَالْمُنٰفِقٰتُ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوا انْظُرُوْنَا
نَقْتَبِسْ مِنْ نُّوْرِكُمْۚ قِيْلَ ارْجِعُوْا وَرَاۤءَكُمْ فَالْتَمِسُوْا
نُوْرًاۗ فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُوْرٍ لَّهٗ بَابٌۗ بَاطِنُهٗ فِيْهِ الرَّحْمَةُ
وَظَاهِرُهٗ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُۗ (13). يُنَادُوْنَهُمْ اَلَمْ نَكُنْ
مَّعَكُمْۗ قَالُوْا بَلٰى وَلٰكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ اَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ
وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْاَمَانِيُّ حَتّٰى جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ
وَغَرَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ (14). فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ
فِدْيَةٌ وَّلَا مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ مَأْوٰىكُمُ النَّارُۗ هِيَ
مَوْلٰىكُمْۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ (15).
(12) Pada hari engkau akan melihat orang-orang mukmin laki-laki
dan perempuan, cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.
(Dikatakan kepada mereka,) “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu)
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai (dan) mereka kekal di dalamnya.
Demikian itulah kemenangan yang sangat agung.”
(13)
Pada hari (itu juga) orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada
orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami! Kami ingin mengambil cahayamu.”
(Kepada mereka) dikatakan, “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri
cahaya (untukmu).” Lalu, di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang
berpintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di luarnya ada azab.
(14)
Orang-orang (munafik) memanggil mereka (orang-orang beriman), “Bukankah kami
dahulu bersama kamu?” Mereka menjawab, “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu
sendiri (dengan kemunafikan), menunggu-nunggu (kebinasaan kami), meragukan
(ajaran Islam), dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan
Allah. (Setan) penipu memperdayakanmu (sehingga kamu lalai) terhadap Allah.
(15)
Pada hari ini tidak akan diterima tebusan darimu maupun dari orang-orang yang
kufur. Tempatmu adalah neraka. Ia adalah tempat berlindungmu dan seburuk-buruk
tempat kembali.”
Setelah
mebaca ayat 12 sampai 15 beserta artinya, cobalah fokus pada ayat 13: “Pada
hari itu juga, orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan
berkata kepada orang-orang yang beriman...”
Al-Samarra’i
menjelaskan perihal mengapa Al-Qur’an perlu menyebutkan secara terpisah antara
orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan. Mengapa tidak
cukup mengatakan al-munāfiqīn saja yang secara universal dapat mencakup
laki-laki dan perempuan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa masing-masing dari
keduanya akan mendapatkan balasannya, dan mereka tidak akan mendapatkan pertolongan
lantaran adanya hubungan kekerabatan atau pernikahan. Maka tak mungkin seorang
suami yang munafik mendapatkan pertolongan dari istrinya yang mu’minah. Atau
mungkin sebaliknya. Tak mungkin seorang istri yang munafik akan selamat dari
balasannya lantaran saat di dunia ia satu keluarga dengan suaminya, saudaranya
atau ayahnya yang mu’min. Mereka akan terpisah. Masing-masing dan
sendiri-sendiri.
“Lalu,
di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalamnya
ada rahmat dan di luarnya ada azab.”
Mungkin
di dunia kita hidup bersama, bersaudara, berkerabat dan berkeluarga. Bahkan
kita berasal dari rahim yang sama, dari tanah yang sama, dari kelompok yang
sama, dari organisasi yang sama. Mungkin di dunia kita memiliki komitmen yang kuat
untuk selalu bersama sampai kapanpun. Persaudaraan dan persahabatan kita di
dunia dibangun di atas kesetiaan yang dijunjung tinggi. Komitmen untuk selalu
saling menjaga dan tolong menolong satu sama lain. Namun di hari pembalasan
nanti, kita akan bertemu dengan pagar pemisah itu.
Tragisnya,
ayat tersebut menggambarkan bahwa pemisahan itu sebatas menggunakan pagar
dinding. Sebelah dalam penuh rahmat, sebelah luarnya penuh azab. Seperti sekat
buah jeruk yang saya ceritakan tadi. Sebelahnya berisi jeruk dengan kualitas
yang baik, sebelahnya lagi berisi jeruk dengan kualitas kurang baik. Sekalipun
berasal dari pohon yang sama, pada akhirnya terpisahkan juga.
Al-Qur’an
selalui berhasil membuat pembacanya berimajinasi. Sayyid Quthub dengan teori taṣwīr
fannī-nya mengurai bahwa di antara ayat Al-Qur’an ada yang memiliki pola
ilustratif, yaitu menjelaskan sesuatu tak hanya dengan konsep-konsep yang bisa
dicerna oleh piranti akal pikiran, namun juga dapat diakses dan dirasakan oleh
panca indera sehingga terasa lebih nyata.
Saya
membayangkan dan berimajinasi. Jika suatu saat saya bepergian, lalu pulang
kembali ke rumah, namun pintu rumah terkunci. Seluruh keluarga saya ada di
dalam, ibu, saudara, dan orang-orang terkasih. Saya mencoba menggedor pintu.
Meminta agar dibuka. Tapi tak ada satupun yang mau membuka. Sehari, dua hari,
dan seterusnya. Terasing dan terkucilkan.