Dzauq Berbahasa

Table of Contents

 

Di kalangan pelajar bahasa Arab di Indonesia, istilah “bahasa Arab rasa Indonesia” sudah menjadi problematika umum bahkan hampir tidak menjadi sebuah kelemahan dalam praktik berbahasa. Bahasa Arab rasa Indonesia merupakan fenomena penggunaan bahasa Arab dari kalangan pelajar di Indonesia dengan mematuhi kaidah-kaidah bahasa Arab secara presisi, namun pada praktiknya, terdapat interferensi atau pengaruh gaya bahasa Indonesia.

Salah satu contoh, dalam budaya praktik berbahasa Indonesia, aktivitas berwudu (bersuci sebelum melaksanakan salat) kerap kali diungkapkan dengan bahasa “saya mengambil air wudu”. Sebagian pelajar ketika ingin mengungkapkan aktivitas itu dalam bahasa Arab ada yang langsung menerjemahkannya secara literal-perkata sehingga menjadi “أنا آخذ ماء الوضوء”. Padahal yang dimaksud mengambil air wudu adalah kegiatan berwudu itu sendiri yang dalam bahasa Arab seharusnya menggunakan تَوَضَّأَ – يَتَوَضَّأُ. Hal ini pada kondisi tertentu akan berimplikasi pada kerancuan dalam berbahasa. Fenomena seperti ini barangkali berkaitan dengan apa yang akan kita bahas dalam tulisan ini tentang apa yang disebut dzauq, salīqah dan malakah dalam berbahasa.

Kita mulai dari dzauq.

Dzauq: Etimologi dan Terminologi

Secara etimologis, dzauq ذوق terdiri dari tiga huruf yang memiliki arti اختبار الشيء من جهة تطعمmencoba sesuatu dengan cara merasakannya dengan indra pengecap (Ibnu Faris, 1979: 2/364). Kata ini menunjukkan sebuah aktivitas indrawi atau bersifat hissi, yaitu suatu aktivitas penggunaan perangkat lidah sebagai indra pengecap untuk mengetahui dan mengenal suatu entitas dengan cara mencicipinya. Kata ini juga menyimpan makna "sedikit" ما يقل تناوله دون أن يكثرsesuatu yang cukup dengan sedikit dan tidak (perlu) memperbanyak. Maksudnya, dalam mencicipi suatu makanan -misalnya, tidak perlu memakannya dalam porsi yang banyak. Mencicipi berarti mengecap sedikit. Kalau banyak bukan "mencicipi", tapi "memakan" (Al-Raghib al-Asfahani, 2004: 205). Misal ada satu piring nasi goreng, mencicipinya berarti merasakan sebagian kecil nasi goreng tersebut sebagai perwakilan untuk mengetahui dan mengenali rasanya secara keseluruhan.

Dari makna etimologis ini kemudian dialihkan kepada makna terminologis dalam konteks ilmu bahasa, yaitu "mencoba sesuatu untuk menemukan dan menentukan karakteristiknya, apakah bagus atau jelek, seperti keindahan warna dan keserasiannya, atau seperti keindahan kata-kata dan kefasihannya" (Jihad al-Majali, 1993: 158). Pemaknaan secara terminologis ini menunjukkan adanya perluasan makna kata dzauq yang tidak hanya bermakna merasakan dengan lidah secara indrawi, namun juga merasakan sesuatu menggunakan perasaan, hati, dan pikiran yang itu sebenarnya merupakan muara dari panca indra lahiriah.

Dzauq dalam terminologi ini adalah merasakan keindahan kata-kata, dan menemukan ciri-ciri baik buruknya suatu ungkapan bahasa. Sama seperti seorang juru masak ketika mencicipi masakannya untuk menentukan rasa yang pas sesuai keinginannya. Proses merasakan keindahan bahasa tidak bisa dilakukan kecuali oleh seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk menemukan dan membedakan ciri-ciri ungkapan bahasa yang indah, mengetahui kedalaman dan rahasia kata-kata, dan menyelami lautan makna-maknanya. Tanpa adanya kemampuan menyelami makna kata-kata, seseorang tak akan mampu menemukan indahnya mutiara yang terkandung di dalamnya (Auni, 2008: 156).

Dzauq ذوق kerap kali dipadankan dengan kata al-ḥiss الحسّ. Al-Ḥiss bermakna merasakan menggunakan panca indera seperti melihat, mendengar, menyentuh, menyium dan mengecap. Kata al-ḥiss kemudian dikembangkan maknanya tidak hanya merasakan dengan panca indra, tapi juga merasakan dengan akal dan perasaan dalam jiwa.

Al-Syarif al-Jurjani (1983: 1/86) menjelaskan al-ḥiss al-musytarak, atau indra bersama, adalah kekuatan batin dalam diri manusia yang berfungsi sebagai pusat tempat berkumpulnya semua citra yang ditangkap oleh kelima indra lahiriah—penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan peraba. Indra-indra ini diibaratkan seperti para mata-mata yang mengumpulkan informasi dari dunia luar dan melaporkannya ke pusat ini, yang terletak di bagian depan rongga otak pertama. Dari sinilah jiwa mengakses dan menyadari apa yang ditangkap oleh indra, sehingga memungkinkan terjadinya proses persepsi. Ibaratnya, al-ḥiss al-musytarak adalah sebuah mata besar yang memancarkan lima sungai—masing-masing mewakili satu indera—yang mengalirkan data ke dalamnya. Dengan demikian, persepsi bukan terjadi secara langsung antara jiwa dan dunia luar, melainkan melalui proses pengumpulan dan pengolahan yang terjadi di pusat ini.

Dalam mengulas kata aḥassa pada QS. Ali Imran ayat 52 (فلما أحس عيسى منهم الكفر), al-Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa nabi Isa "merasakan" adanya kekufuran dari kaumnya. Menurutnya, penggunaan kata aḥassa -yang bermakna "merasakan"- menunjukkan bahwa kekufuran mereka begitu jelas dan nyata hingga bisa disadari secara indrawi (Al-Raghib al-Asfahani, 2004: 130). Jika sesuatu sudah bisa ditangkap dengan panca indra, maka kemudian akan disampaikan kepada akal dan pemahaman.

Kembali kepada dzauq, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, kata dzauq dapat dipadankan dengan kata ḥiss. Kata ḥiss menyimpan makna الصوت الخفيsuara yang samar (Ibnu Mandzur, 1414: 6/49). Suara yang samar tak bisa didengar oleh semua orang. Hanya orang-orang tertentu yang dapat mendengarnya. Dari sini maka dzauq adalah aktivitas merasakan yang tidak mampu dilakukan oleh sembarang atau semua orang. Merasakan di sini melibatkan perangkat indrawi luar serta penalaran melalui akal dan penghayatan sehingga hanya orang-orang yang memiliki kemampuan yang bisa melakukannya.

Muhammad Ali al-Tahanawi (1996: 834) mendefinisikan dzauq sebagai kekuatan naluriah atau kemampuan yang melekat dalam diri seseorang, yang membuatnya mampu merasakan dan memahami seluk-beluk serta keindahan suatu ucapan atau bahasa. Dzauq ini merupakan insting alami yang memungkinkan manusia menangkap nuansa halus, rahasia, dan keindahan dalam bahasa. Artinya, seseorang yang memiliki dzauq bahasa tidak hanya memahami arti kalimat secara harfiah, tetapi juga bisa menilai keindahan, kefasihan, serta ketepatan ungkapan dalam konteks dan rasa bahasa yang mendalam.

Dzauq juga digunakan untuk menunjukkan kekuatan yang mengarahkan seseorang dalam menilai ilmu, baik dari segi kesempurnaan pemahaman menurut fitrah maupun ketajaman intuisi dalam menilai nilai-nilai moral dan seni. Dzauq ini mencakup kemampuan memahami makna-makna tersembunyi dalam hubungan antarmanusia atau dalam menilai karya seni seperti puisi, sastra, dan musik, dengan menggunakan kepekaan rasa dan pengalaman pribadi, tanpa terikat oleh aturan yang kaku. Kecenderungan ini disebut "tadzawwuq al-fann" (تذوق الفن), yaitu kemampuan merasakan keindahan secara alami. Dzauq yang sejati adalah penilaian terhadap sesuatu secara jujur dan tepat, berdasarkan kepekaan batin yang tajam (al-Sulthan, 2017: 179).

Karena itu, yang dimaksud dengan istilah "balāghīyah dzauqīyah" (البلاغة الذوقية) adalah pandangan kritis yang menelaah dan mengevaluasi teks secara mendalam dengan mempertimbangkan sifat-sifat keindahan, kefasihan, kejelasan, dan ketepatan baik secara lafaz maupun makna. Pandangan ini bergantung pada penerapan makna nahwu (tata bahasa) dan seni balaghah (retorika) secara tepat, dan mengutamakan dzauq serta tabiat alami (salīqah) dalam memahami bahasa. Maka, dalam balaghah -sebagai bagian dari seni-kesusastraan dan bukan kebahasaan-, dzauq dan tabiat memiliki kedudukan utama sebagai hakim dalam menilai kualitas dan keindahan bahasa (al-Sulthan, 2017: 179).

Dzauq Lughawī atau cita rasa bahasa adalah anugerah dan kemampuan bawaan yang memungkinkan seseorang menangkap makna halus dalam bahasa dan menembus rahasia-rahasianya. Namun, meskipun ia bersifat anugerah dan naluriah, dzauq ini tetap membutuhkan latihan, pembelajaran, dan pengasahan akal serta pemikiran agar dapat berkembang sempurna. Proses berpikir mendalam dan pencarian keterkaitan makna yang tidak tampak secara eksplisit sangat penting dalam hal ini. Maka untuk bisa benar-benar memiliki dzauq yang tajam, seseorang perlu menguasai bahasa secara utuh—baik dari sisi kaidah maupun ragam gayanya. Kesimpulannya, cita rasa bahasa tidak cukup hanya mengandalkan bakat, tapi juga harus dilandasi dengan ketekunan belajar, latihan, dan pemahaman mendalam terhadap seluk-beluk bahasa (Auni, 2008: 157).

Dzauq Sebagai Rujukan Berbahasa

Pertanyaan mendasar tentang dzauq: ketika bahasa sudah memiliki kaidah, adakah kebutuhan terhadap dzauq? Bukankah bahasa sudah pakem dengan kaidah-kaidahnya?

Coba perhatikan apa yang disampaikan oleh Ibnu Hisyam al-Anshari (2004: 89) ketika menjelaskan perbedaan dua amil jazm: lammā dan lam, dalam Qaṭr al-Nadā wa Ball al-Ṣadā:

وَالثَّانِي أَن لما تؤذن كثيرا بتوقع ثُبُوت مَا بعْدهَا نَحْو {بل لما يَذُوقُوا عَذَاب} أَي إِلَى الْآن لم يذوقوه وسوف يذوقونه وَلم لَا تَقْتَضِي ذَلِك ذكر هَذَا الْمَعْنى الزَّمَخْشَرِيّ والاستعمال والذوق يَشْهَدَانِ بِهِ

(Perbedaan) yang kedua (antara lammā dan lam), adalah bahwa lammā menjamin kepastian terjadinya sesuatu yang belum terjadi, seperti pada akhir QS. Shad ayat 8 (بل لما يَذُوقُوا عَذَاب), tapi mereka belum merasakan azab-Ku. Artinya, sampai saat ini mereka belum merasakan azab, dan pasti akan merasakannya. Adapun lam tidak demikian. Itulah yang pernah disampaikan oleh al-Zamakhsyari. (Selain itu), aspek penggunaan (isti’māl) dan rasa bahasa (dzauq) menyatakan demikian.

Dalam ungkapan tersebut, Ibnu Hisyam menjadikan dzauq sebagai argumentasi dalam membedakan antara lammā dan lam sebagai amil jazm. Dengan demikian, seharusnya dzauq bisa menjadi landasan berbahasa sebagaimana kaidah kebahasaan mengatur tata bahasa yang tepat.

Lalu apakah dzauq berbahasa setiap orang bisa dijadikan landasan dan argumentasi berbahasa? Dari sini perlu dibedakan antara dzauq dalam konteks kaidah kebahasaan dan dalam konteks seni-kesusastraan.

Dalam konteks sebagai rujukan kaidah kebahasaan, dzauq diposisikan sebagai alat bantu atau penimbang ketika dalil kebahasaan (seperti qiyāssamā’, atau istiṣḥāb) tidak tersedia secara kuat. Dalam kondisi ini, dzauq digunakan oleh ulama bahasa untuk menentukan apakah suatu bentuk bahasa itu sesuai dengan ṭhab’ lughawī (naluri kebahasaan yang lurus) atau tidak.

Contoh: Jika sebuah bentuk secara qiyās masih diperdebatkan, para ahli akan melihat apakah bentuk tersebut terdengar lazim, wajar, dan alami menurut dzauq kebahasaan. Ini bukan soal selera individual, tetapi dzauq yang terbentuk dari keluasan paparan terhadap bahasa fuṣḥā, pendengaran yang tajam, dan kecermatan dalam menilai struktur kebahasaan.

Dalam hal ini, dzauq menjadi semacam "hakim internal" yang berperan menjaga kebakuan dan kefasihan ungkapan agar tetap selaras dengan sistem bahasa Arab klasik.

Adapun dalam konteks keindahan seni-kesusastraan (khususnya balaghah, syi‘ir, dan adab), dzauq adalah pengalaman rasa yang bersifat personal dan estetik. Dzauq di sini menunjuk pada kemampuan batiniah untuk menangkap keindahan, kehalusan makna, kekuatan emosi, dan keharmonisan bunyi dalam sebuah ungkapan.

Contoh: seorang penyair atau kritikus sastra dapat merasakan bahwa sebuah bait syair sangat menggugah, menyentuh, atau mencerminkan kedalaman makna, meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan dengan kaidah linguistik. Ini karena dzauq artistik bersandar pada perasaan, imajinasi, dan pengalaman batin, bukan semata-mata aturan.

Dalam konteks ini, dzauq adalah kekuatan batin untuk merasakan kecantikan kalimat, membedakan antara kata yang "hidup" dan yang "kering", serta menilai ungkapan tidak hanya dari benar-tidaknya, tetapi juga dari rasa, irama, dan daya estetikanya.

Kembali kepada konteks tata bahasa, dzauq tidak dapat dijadikan dalil yang kuat secara mutlak, karena ia merupakan perkara yang bersifat individual dan tidak selalu terukur secara objektif. Dzauq di sini sangat tergantung pada kemampuan personal, bakat, dan potensi orang yang memilikinya. Namun, dzauq sering dijadikan rujukan ketika tidak terdapat dalil kebahasaan yang eksplisit. Ia dapat berperan sebagai alat bantu untuk penegasan atau penguatan jika memang tidak ada dalil pasti, sebagaimana pendapat Ibnu Hisyam yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa kadang-kadang dibuktikan dengan dzauq dan praktik berbahasa yang berlaku. Maka, dalam kondisi tertentu kita membutuhkan dzauq untuk mencari hubungan makna yang logis dan memuaskan secara akal (Auni, 2008: 169).

Kebutuhan terhadap dzauq ini menjadi lebih terasa dalam konteks luasnya bahasa Arab dan banyaknya ragam ekspresi dan struktur di dalamnya. Oleh karena itu, pemanfaatan kecerdasan linguistik (القدرة اللغوية الفسيحة) di bawah sudut pandang keluwesan bahasa menjadi penting. Bahkan, bisa jadi dzauq yang kuat dapat menghantarkan pada kesimpulan yang setara dengan dalil kebahasaan, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Jinni dalam mengaitkan antara bentuk kata (isim), sifat, dan makna secara mendalam. Maka orang yang memiliki dzauq tinggi mampu membedakan struktur bahasa yang benar, menyerap keindahan, serta mengenali keselarasan bunyi dan tatanan huruf dalam bahasa. Dia ibarat seorang penyair yang peka terhadap harmoni dan estetika bahasa (Auni, 2008: 169).

Kesimpulan: Dzauq bahasa bukan dalil absolut, tapi sangat penting sebagai pelengkap ketika dalil linguistik tidak tersedia. Ia menjadi alat penalaran dan penguat dalam memahami keindahan, ketepatan, dan keserasian bahasa secara lebih halus dan mendalam.

Dzauq yang menjadi pembicaraan di atas adalah dzauq pengguna bahasa Arab saat ini secara umum baik dari kalangan penutur asli atau penutur bahasa lain, bukan dzauq orang-orang Arab Badawi (pedalaman) pada masa Jahiliah. Adapun dzauq orang-orang Arab Badawi kuno dari kalangan tertentu (yang sudah ditetapkan dan disepakati oleh para ulama) justru menjadi rujukan utama sebagai model (syawāhid) perumusan kaidah-kaidah kebahasaan. Pada titik ini kemudian dzauq berkaitan erat dengan salīqah atau malakah (akan dibahas pada sesi khusus).

Kiranya kita perlu memahami dua istilah berkaitan dengan perumusan kaidah-kaidah bahasa Arab sebagai standar dalam berbahasa, yaitu: (1) المعيارية اللغويةal-mi’yārīyah al-lughawīyah, dan (2) اللغة العربية المعيارية al-lughah al-‘arabīyah al-mi’yārīyah.

Al-mi’yārīyah al-lughawīyah adalah standarisasi bahasa atau aturan kebahasaan: yaitu merujuk pada kumpulan kaidah dan aturan yang dianggap sebagai ukuran benar dan baku dalam penggunaan bahasa, baik dari segi tata bahasa (nahwu), morfologi (sharf), fonologi, maupun semantik. Konsep ini menetapkan mana bentuk atau struktur bahasa yang dianggap sah, tepat, dan sesuai norma linguistik yang disepakati secara sosial atau akademik.

Contoh: penggunaan kata yang sesuai dengan kaidah nahwu seperti رفع الفاعل (subjek harus dalam bentuk marfū’). Penghindaran kesalahan seperti penggunaan إن الطالب ناجحٌ (benar) dibanding إن الطالبُ ناجحٌ (salah karena mubtada marfū’ setelah inna yang seharusnya manṣūb).

Standarisasi kaidah kebahasaan dalam bahasa Arab ini lahir dari model bahasa Arab yang menjadi rujukan atau yang disebut bahasa Arab standar/baku klasik (al-lughah al-‘arabīyah al-mi’yārīyah al-kalāsīkīyah), dan bahasa Arab standar yang menjadi rujukan ini adalah bahasa Arab klasik yang digunakan oleh orang-orang Arab Baduwi kuno hingga akhir era Umawi atau awal era Abbasi; bahasa Arab yang digunakan pada puisi-puisi Arab klasik; bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an; serta bahasa Arab yang digunakan dalam sebagian hadis nabi yang mutawatir (baca: artikel) (al-Sulthan, 2017: 174). Adapun bahasa Arab yang digunakan oleh orang-orang Arab dalam berkomunikasi pasca era Abbasi hingga saat ini sudah tidak menjadi rujukan dalam perumusan kaidah-kaidah tata bahasa Arab. Hal ini sebenarnya sudah menjadi pembahasan para ulama klasik, yaitu para perumus kaidah-kaidah ilmu nahwu dari berbagai mazhabnya.

 

Rujukan

  • Ali bin Khalifah al-Sulthan, “Al-Syāhid al-Naḥwī baina al-Mi’yār al-Lughawī wa al-Dzauq al-Balāghī,” Majallah Kullīyah al-Dirāsāt al-Islāmīyah wa al-Arabīyah Banāt – Damanhur, Vol. 10 No. 2 (2017).
  • Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradāt Alfādz Al-Qur’ān, (Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, 2004).
  • Al-Syarif al-Jurjani, al-Ta’rīfāt, (Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, 1983).
  • Ibnu Faris, Mu’jam Maqāyīs al-Lugah, (Bairut: Dār al-Fikr, 1979).
  • Ibnu Hisyam al-Anshari, Qaṭr al-Nadā wa Ball al-Ṣadā, (Kairo: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, 2004).
  • Ibnu Mandzur, Lisān al-Arab, (Bairut: Dār Ṣādir, 1414).
  • Jihad al-Majali, “Mauqif al-Nuqqād al-Arab al-Qudāmā min Qaḍiyyah al-Zauq al-Fannī,” Majallah Mutah li al-Buḥūṡ wa al-Dirāsāt - Mutah University Jordan, Vol. 8 No. 2 (1993).
  • Muhammad Ali al-Tahanawi, Mausū’ah Kasysyāf Iṣṭilāḥāt al-Funūn wa al-'Ulūm, (Bairut: Maktabah Lubnān, 1996).
  • Umar Muhammad Auni, “al-Zauq al-Lugawī wa Aṡaruhū fī al-Lugah,” Majallah Abḥāṡ Kullīyah al-Tarbiyah al-Asāsīyyah, Vol. 7 No. 4 (2008).