Teori Naẓm Perspektif Abdul Qahir al-Jurjani (2/3)
Table of Contents
Teori
Naẓm Sebelum Abdul Qahir al-Jurjani
Sebagaimana
penjelasan di atas, al-Jurjani dianggap sebagai pemilik teori naẓm yang
kemudian menjadi cikal bakal ilmu ma’ani. Namun, pada dasarnya, al-Jurjani
bukanlah orang pertama yang menggunakan istilah naẓm dalam kajiannya.
Ada sejumlah pendahulunya yang sudah menyinggungnya dan menjadikannya sebagai
pembahasan dalam kajian-kajiannya. Al-Jurjani bisa dikatakan meneruskan,
mengklarifikasi dan mematangkan kajian-kajian tersebut secara lebih terperinci,
meski pada akhirnya ada perbedaan yang identik dengan teori-teori pendahulunya.
Al-Jahidz
(w. 255 H.) dipandang sebagai orang pertama yang menggunakan istilah naẓm
dan berkutat di dalam pembahasannya. Meski demikian, sebagai pendahulu, ia
belum memiliki konsep yang jelas terhadap teori naẓm ini. Para peneliti
menduga bahwa hal tersebut lantaran sebenarnya al-Jahidz memiliki sebuah buku
berjudul Naẓm Al-Qur’ān sebagaimana ia menyebutnya di dalam mukadimah al-Ḥayawān,
dan juga pernah di-mention oleh al-Baqillani di dalam I’jāz
Al-Qur’ān-nya, namun sayangnya karya ini hilang dan tidak ditemukan hingga
saat ini (Zainay, 1997: 7; al-Baqillani, 1997: 7).
Lalu
bagaimana teori naẓm perspektif al-Jahidz? Para kritikus dan peneliti
sebenarnya masih meraba-raba tentang hal ini. Ahmad Darwisy menjelaskan bahwa naẓm
perspektif al-Jahidz mengacu kepada pemilihan lafaz yang tepat dalam perkataan.
Ketepatan pemilihan lafaz ini baik secara musikalitas (mūsīqīyan) yang memiliki
peran utama dalam menciptakan keselarasan bunyi; ketepatan secara leksikal/denotatif
(mu’jamīyan) yang memiliki peran utama dalam pilihan varian kata dan
makna leksikal yang serasi; dan ketepatan secara konotatif (īḥāīyan)
(Darwisy & Jadwa, 2010: 54). Dari paparan tersebut tampak kecenderungan
al-Jahidz untuk lebih condong kepada aspek lafaz dari pada makna. Hal ini
dipertegas oleh beberapa peneliti yang memang mengatakan bahwa al-Jahidz
termasuk kalangan anṣār al-lafẓ dalam perdebatan tentang dualisme lafaz
dan makna (Arafah, 1985: 172; al-Ghautsani, 2019: 147-148), meski ada juga
peneliti lain -termasuk, tampaknya, Ahmad Darwisy- yang berpandangan tidak
demikian.
Ahmad
Darwisy juga mencoba menggambarkan teori naẓm perspektif al-Jahidz ini
dengan penjelasan-penjelasan al-Jahidz itu sendiri tentang ījāz, iṭnāb dan
istiḥsān pada dua kitabnya al-Bayān wa al-Tabyīn dan al-Ḥayawān:
bahwa termasuk aspek kesusastraan adalah adanya varian ungkapan-ungkapan dan
kisah-kisah yang dihadirkan dalam Al-Qur’an, ada yang panjang dan ada yang
pendek. Varian itu menyesuaikan dengan konteks (mauqif), khiṭāb
dan isyarat yang dibutuhkan.
Terkadang
ketika khiṭāb ayat tersebut ditujukan kepada orang Arab, maka diungkapkan
secara ringkas (ījāz), namun ketika ditujukan kepada Yahudi yang
notabene non-Arab dan tidak memiliki kompetensi dan kefasihan bahasa dan sastra
seperti orang Arab, maka diungkapkan secara lebih panjang.
Penjelasan-penjelasan al-Jahidz seperti inilah yang menurut Ahmad Darwisy
berkelindan dengan teori naẓm.
Selain
al-Jahidz, Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H.) juga pernah berkutat dengan teori
naẓm meski dipandang belum menjelaskan dan memberikan batasan dan
kriteria secara pasti tentang apa itu naẓm. Ahmad Darwisy menjelaskan
bahwa naẓm menurut al-Baqillani adalah ciri-ciri spesifik dalam diksi
dan struktur (al-malāmiḥ al-khāṣṣah li al-tarkīb/al-uslūb); cara/metode penyusunannya;
rahasia keindahan dalam peletakan posisi dan penggunaan suatu kata; termasuk
juga misalkan kapan dan mengapa harus menggunakan makrifat atau nakirah, kapan
dan mengapa harus menyebutkan suatu kata atau menghapusnya. Pandangan
al-Baqillani yang belum tuntas ini kemudian diikuti oleh al-Qadli Abdul Jabbar
al-Asadi (w. 415 H.) seorang tokoh Muktazilah. Hanya saja al-Qadli Abdul Jabbar
tidak menggunakan redaksi al-naẓm, melainkan al-ḍamm.
Saat
menjelaskan faṣāḥah, al-Qadli Abdul Jabbar (Jabbar, tt: 16/199) mengungkapkan:
"اعلم أن الفصاحة لا تظهر في أفراد الكلم؛ وإنما تظهر في
الكلام بالضم على طريقة مخصوصة، ولا بد مع الضم أن يكون لكل كلمة صفة، وقد يجوز في
هذه الصفة أن تكون بالمواضعة التي تتناول الضم، وقد تكون بالإعراب الذي له مدخل
فيه، وقد تكون بالموقع، وليس لهذه الأقسام الثلاثة رابع."
“Ketahuilah
bahwa keindahan perkataan (faṣāḥah) itu tidak terletak pada lafaz atau kata
secara independen, namun terletak pada struktur/susunannya dengan cara/metode
tertentu. Setiap kata harus memiliki kriteria tertentu untuk dapat membentuk
struktur tersebut. Kriteria tersebut meliputi Muwāḍa’ah yang berkisar pada
pemilihan kata yang membentuk struktur, I’rāb sebagai pengikat dalam struktur,
dan Mauqi’ (yang berkisar pada peletakan kata dalam struktur).”
Teori Naẓm Sebelum Abdul Qahir al-Jurjani
Ahmad
Darwisy menjelaskan tiga kriteria yang membentuk struktur tersebut: (1) Muwāḍa’ah,
yaitu cara pemilihan kata dengan pertimbangan spesifikasi tertentu dalam makna
yang dikandungnya, seperti kapan harus memilih menggunakan bentuk māḍī dari
pada bentuk muḍāri’ dalam menentukan waktu; kapan harus menggunakan isim
fā’il dari pada ṣifah musyabbahah dalam menentukan suatu subjek; dan
kapan harus memilih menggunakan bentuk mubālagah dari pada bentuk isim
fā’il dalam menentukan kadar suatu kejadian, dst. (2) mauqi’īyah,
yaitu peletakan posisi suatu kata dalam struktur, meliputi taqdīm, ta’khīr,
qaṣr, dst. yang hal itu memiliki pengaruh kepada makna psikologis (al-ma’nā
al-nafsī). (3) I’rāb, yaitu status dan kedudukan suatu kata yang
terikat dengan kata lain, seperti status subjek (fā’ilīyah), objek (maf’ūlīyah),
keterangan (ẓarfīyah), dst (Darwisy & Jadwa, 2010: 57; Abbas, 2016:
224).
Perpaduan
ketiga kriteria yang membentuk struktur dan kemudian menjadi titik keindahan (faṣāhah)
suatu kalam inilah yang oleh al-Qadli Abdul Jabbar disebut al-Ḍamm, dan hal ini
pula yang sebenarnya diinginkan oleh al-Baqillani, untuk dijabarkan meski kala
itu belum tuntas secara spesifik. Selain itu, rumusan al-Qadli Abdul Jabar ini,
menurut Ahmad Darwisy, juga menjadi perangkai (al-khuyūṭ) atas teori naẓm
yang kemudian dirinci dan dimatangkan oleh Abdul Qahir al-Jurjani (Darwisy
& Jadwa, 2010: 57).
Pendapat
yang berbeda muncul dari Mahmud Muhammad Syakir dalam pengantar atas taḥqīq
dan pembacaannya terhadap Dalāil al-I’jāz. Ia berpandangan bahwa justru
Abdul Qahir al-Jurjani menentang keras teori-teori al-Qadli Abdul Jabbar
khususnya tentang konsep jazālah al-lafẓ dan faṣāḥah. Hal itu
lantaran di dalam Dalāil al-I’jāz banyak ditemukan kritikan-kritikan
al-Jurjani terhadap penyataan-pernyataan al-Qadli Abdul Jabbar yang termuat dalam
bukunya al-Mugnī, selain juga ada faktor-faktor perbedaan mazhab
teologis mengingat Abdul Jabbar berasal dari kalangan Muktazilah sementara
al-Jurjani dari Asy’ariyah (al-Jurjani, 1984: e-f).
Perdebatan Tentang Konsep Lafaz dan Makna
Secara historis, lahirnya teori naẓm berawal dari perdebatan
tentang aspek keindahan suatu kalam yang dilatarbelakangi oleh kemukjizatan Al-Qur’an.
Para kritikus Arab klasik mempertanyakan perihal letak kemukjizatan Al-Qur’an
atau titik keindahan suatu kalam, baik puisi atau prosa. Pembahasan dan perdebatan
ini menjadi ‘ramai’ memenuhi ruang-ruang diskusi dalam karya-karya kritik
sastra Arab klasik sejak sekitar abad ke-3 Hijriyah yang kemudian melahirkan suatu
term perdebatan yang disebut dualisme lafaz dan makna (qaḍīyah al-lafẓ wa
al-ma’nā). Perdebatan itu berkisar pada pertanyaan mendasar tentang lafaz
dan makna: apa yang membuat suatu teks memiliki keunggulan dari teks yang lain?
Di manakah aspek keindahan bahasa Al-Qur’an? Di manakah letak keunggulan
tersebut? Apakah pada lafaznya atau pada maknanya? (Dersevi, 2023: 767).
Dari perdebatan ini, setidaknya muncul dua golongan yang saling
bertentangan yang oleh para peneliti disebut anṣār al-lafẓ atau pembela lafaz,
dan anṣār al-ma’nā atau pembela makna. Pada perkembangannya, perdebatan ini
berkelindan dengan aspek-aspek teologis yang melibatkan dua aliran besar Asy’ariyah
dan Muktazilah.
Dari kalangan anṣār al-lafẓ nama al-Jahidz disebut oleh para
kritikus dan peneliti sebagai tokoh yang termasuk dalam bagian ini. Selain karena
ada dugaan teologis sebagai penganut Muktazilah, hal itu lantaran al-Jahidz
kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dianggap lebih mendahulukan
lafaz. Al-Jahidz pernah mengatakan bahwa makna-makna berserakan di jalan (maṭrūḥah
fī al-ṭarīq); dapat dipahami oleh orang Arab maupun non-Arab. Keunggulan
sebuah kalam, menurutnya, terdapat pada kesesuaian wazan (iqāmah al-wazn), pemilihan kata yang tepat (takhayyur
al-lafẓ), artikulasi yang baik (suhūlah
al-makhraj), bunyi yang mengalir (kaṡrah al-mā’), bentuk yang tepat
(ṣiḥḥah al-ṭab’), dan cetakan yang bagus (jaudah al-sabak) (al-Jahidz,
1424: 3/67).
Meski sebagian kritikus menjadikan pernyataan di atas sebagai
landasan untuk mengatakan bahwa al-Jahidz merupakan pembela lafaz, namun hal
tersebut tetap masih berada pada tataran perdebatan. Dalam pernyataan tersebut
al-Jahidz memang seperti mendahulukan lafaz, tapi sebenarnya al-Jahidz
mengatakan demikian dalam konteks menanggapi Abu Amr al-Syaibani yang terlalu berlebihan
dalam mendeskripsikan makna sehingga seakan-akan hanya makna-lah yang membuat
suatu kalam menjadi indah dan unggul dari kalam lain (Dersevi, 2023: 768). Sampai
di sini sebenarnya kecenderungan al-Jahidz kepada anṣār al-lafẓ masih
diperdebatkan di kalangan kritikus (al-Mubassyir & Naf’an, 2024: 103).
Selain al-Jahidz, al-Askari (w. 395 H.) juga dipandang sebagai
bagian dari anṣār al-lafẓ. Al-Askari mengatakan bahwa aspek balaghah itu
terdapat pada lafaz yang bagus (taḥsīn al-lafẓ). Ia berargumen bahwa puisi
dan prosa yang indah itu tidak dilihat dari maknanya yang bagus sebab terkadang
ada lafaz yang jelek (radī’) tapi mampu memberikan pemahaman yang baik
terhadap makna. (al-Askari, 1971: 61). Konsep balaghah menurut al-Askari adalah
pengerahan usaha dalam menyusun lafaz-lafaz yang indah agar mampu memunculkan
nilai-nilai estetika sehingga menjadi kalam bālig (Dahmani, 2013: 253;
Lakehal, 2023: 699). Argumentasi ini dipertegas oleh Ibnu Khaldun yang
mengatakan bahwa yang membuat seorang penyair menjadi unggul adalah kemampuan
berbahasa untuk mengungkapkan makna dengan lafaz yang baik dan indah. Ia juga
menekankan bahwa bentuk kalam, apakah menjadi prosa atau puisi, bergantung pada
lafaz, bukan pada makna. Terkadang, dua kalam yang berbeda dapat memiliki makna
yang sama: yang satu berbentuk puisi dengan bahasa yang indah, sementara yang
lain berbentuk prosa dengan bahasa yang sederhana. Perbedaan antara keduanya
terletak pada aspek lafaz. Seorang penulis yang berusaha mengasah kemampuan berbahasanya
(malakah lugawīyah) sebenarnya ia sedang mengembangkan cara untuk
mengungkapkan lafaz-lafaz yang baik dan indah (Khaldun, 1988: 1/795).
Sebagai penentang anṣār al-lafẓ, anṣār al-ma’nā juga mengajukan
argumentasi-argumentasinya. Di antara tokoh yang dianggap sebagai anṣār al-ma’nā
adalah Abu Amr al-Syaibani, Abu al-Qasim al-Amadi, Ibnu Jinni, al-Syarif
al-Radli, dan Ibnu al-Atsir. Di antara argumentasi yang diajukan adalah ketika
suatu kalam baik puisi atau prosa memiliki makna yang tinggi (ma’nā syarīf),
pastilah kalam tersebut tak dapat dibilang jelek meskipun tersusun menggunakan
lafaz yang lemah. Menurut al-Amadi, Umru al-Qais menjadi penyair unggul dan terkemuka
pada masa Jahiliyah karena puisi-puisinya memiliki makna yang tinggi dan halus.
Jika bukan karena memiliki makna yang bagus, niscaya puisi-puisinya sama seperti
puisi-puisi penyair lain pada masanya. Al-Amadi terang-terangan mengatakan: “Ketepatan
(ṣiḥḥah) susunan lafaz (ta’līf) dalam puisi menjadi tiang terkuat
setelah ketepatan makna.” (al-Amadi, 1994: 428; al-Mubassyir, 2024: 106).
Ibnu Jinni lebih ‘fanatik’ lagi. Menurutnya, para penyair Arab
dituntut untuk merangkai lafaz dengan indah, memilih kata-kata yang tepat,
serta memperhatikan kefasihan dalam merangkai kata-kata, semata-mata demi
mencapai makna yang mulia dan melayani tujuan tersebut. Ia berpendapat bahwa
lafaz hanyalah alat untuk mencapai makna yang menjadi fokus utama. Sebuah kalam
berbentuk puisi yang ditulis oleh seorang penyair memiliki kedalaman makna yang
lebih besar dan lebih membekas di hati dibandingkan kalam dalam bentuk prosa
biasa. Penciptaan puisi yang indah bertujuan untuk memperkuat makna, sehingga
dapat lebih menyentuh hati para pembaca atau pendengar (Jinni, 1431 H.: 216;
Dersevi, 2023: 770).
Di tengah pertentangan dua kelompok tersebut, hadirlah Abdul Qahir
al-Jurjani dengan teori naẓm. Perdebatan yang berkembang mengenai
dualisme antara lafaz dan makna pada masa itu menimbulkan kekhawatiran dan
keprihatinan bagi al-Jurjani terhadap ilmu balaghah dan i’jāz Al-Qur’an. Ia
khawatir jika pertentangan dua kubu tersebut harus didasarkan pada fanatisme
dalam memandang lafaz dan makna.
Dalam melihat lafaz dan makna, Abdul Qahir al-Jurjani memiliki pandangan
yang berbeda. Dalam Dalāil al-I’jāz, ia membantah secara terang-terangan
kalangan pembela lafaz, namun posisinya juga tidak termasuk pembela
makna. Abdul Qahir al-Jurjani berpendapat bahwa lafaz tunggal tidak dapat berdiri
sendiri dan tidak memiliki nilai apapun sebelum dirangkai dengan lafaz yang
lain dalam sebuah tarkīb atau susunan. Penyusunan (ta’līf)
lafaz-lafaz hingga menjadi susunan harus berorientasi kepada makna; mengaturnya
dengan mengacu kepada urutan makna yang diinginkan di dalam pikiran (ma’ānī
fī al-nafs). Pandangan ini kemudian dikenal dengan teori naẓm.
Posisi
Teori Naẓm al-Jurjani dalam Keilmuan Bahasa Arab
Di
dalam kajian bahasa Arab ada cabang yang membahas tentang kosakata atau disebut
ilmu mu’jam. Setiap kata memiliki makna secara leksikal, seperti jā’a bermakna
datang, zahaba bermakna pergi, dst. Namun makna leksikal ini bukanlah
yang dimaksud oleh teori naẓm atau ma’ani. Begitu pula cabang yang
membahas tentang derivasi kata dari akarnya yang kemudian disebut ilmu sharaf.
Cabang ini membahas peralihan satu bentuk kata ke dalam bentuk lain untuk
menciptakan keanekaragaman makna yang diinginkan, seperti jā’a menunjukkan
makna lampau sedangkan yajī’u menunjukkan makna akan datang. Kajian
tentang bentuk dan makna derivasi ini bukan pula yang dimaksud oleh teori naẓm
atau ma’ani. Demikian pula dengan ilmu nahwu atau ilmu i’rāb, yaitu salah
satu cabang yang membahas status atau kedudukan suatu kata dalam hubungannya
dengan kata lain yang kemudian ditandai oleh tanda-tanda i’rāb, seperti
kedudukannya sebagai subjek (fā’il) ditandai dengan dammah karena marfū’,
objek (maf’ūl) ditandai dengan fathah karena manṣūb, dan lain
sebagainya. Cabang ini juga bukan yang dimaksud oleh teori naẓm atau ma’ani.
Lalu bagaimana sebenarnya yang dimaksud teori naẓm yang kemudian menjadi
ilmu ma’ani tersebut?
Jika
ingin memahami teori naẓm, pahamilah ilmu ma’ani sebagaimana yang banyak
dibahas dalam buku-buku balaghah saat ini, sebab naẓm sendiri merupakan
cikal bakal ilmu ma’ani. Naẓm merupakan kajian tentang susunan makna di
dalam pikiran (al-ma’nā al-nafsī) atau makna yang tersirat atau makna
yang lebih dalam dari sekedar makna sintaksis, kemudian makna itu dicurahkan
dalam susunan/struktur lafaz. Jadi, semua cabang keilmuan yang disebutkan di
atas memiliki peran dalam kajian naẓm. Rangkaian cabang keilmuan itulah
yang akan membentuk struktur/susunan yang kemudian menghasilkan makna di dalam
pikiran sebagaimana yang dimaksud oleh teori naẓm.
