Teori Naẓm Perspektif Abdul Qahir al-Jurjani (3/3)

Table of Contents

Teori Naẓm Perspektif Al-Jurjani
Ahmad Darwisy dalam pembacaannya terhadap dua karya al-Jurjani menjelaskan bahwa sebelum al-Jurjani masuk kepada pembahasan tentang teori naẓm, terlebih dahulu ia mencari-cari letak kemukjizatan Al-Qur’an yang membuatnya berbeda dan mengungguli karya-karya puisi dan prosa Arab pada umumnya. Hal itu karena motivasi utama dalam kajiannya memang tentang kemukjizatan Al-Qur’an sebagaimana hal tersebut diekspresikan pada judul bukunya Dalāil al-I’jāz. Al-Jurjani melakukan semacam penalaran dan perenungan untuk mencari sesuatu yang baru dalam Al-Qur’an, yang tidak ada dalam karya sastra orang Arab.

Al-Jurjani mempertanyakan apakah aspek pembeda (al-syai’ al-jadīd) tersebut terdapat dalam huruf-hurufnya? Ia menyimpulkan: tentu tidak. Huruf-huruf yang dipakai oleh Al-Qur’an sama seperti huruf-huruf yang dipakai oleh bahasa Arab pada umumnya, yaitu berkisar pada 28 huruf Hijaiyah sebagaimana mafhum diketahui. Tidak ada sesuatu yang baru. Tidak mungkin huruf-huruf yang digunakan oleh Al-Qur’an menjadi aspek kemukjizatan balaghah Al-Qur’an.

Apakah aspek itu terdapat di dalam lafaz-lafaznya? Bagi al-Jurjani, tidak. Lafaz-lafaz yang digunakan oleh Al-Qur’an sudah lumrah dan banyak digunakan oleh orang-orang Arab. Orang-orang Arab sudah mengenal lafaz-lafaz seperti al-ḥamdu, Allāh, rabb, al-‘ālamīn, mālik, yaum, dan seterusnya. Ahmad Darwisy menyebutkan, jika beberapa pendahulu al-Jurjani ada yang berpendapat bahwa aspek-aspek kemukjizatan terdapat pada lafaznya, maka al-Jurjani menentang pendapat tersebut dengan alasan bahwa lafaz-lafaz Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang baru, dalam artian sudah lumrah di kalangan orang-orang Arab.

Selain itu, al-Jurjani juga berargumen bahwa aspek kemukjizatan Al-Qur’an pada dasarnya merujuk kepada sesuatu yang ‘lebih dalam’ dari sekedar lafaz, yaitu sesuatu yang disebutnya sebagai qīmah fikrīyah. Menurutnya, aspek kamukjizatan dapat menjadikan suatu teks bersifat universal dengan sekiranya dapat dinikmati oleh semua penutur bahasa di dunia, tidak hanya oleh penutur bahasa Arab saja. Jika aspek kemukjizatan balaghah Al-Qur’an tersebut ada di dalam lafaz, tentu hal itu tidak akan bisa dinikmati oleh penutur non-Arab. Sebab keindahan lafaz tidak mungkin dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda.

Ahmad Darwisy menjelaskan: barangkali pandangan al-Jurjani tentang hal ini berangkat dari latar belakangnya yang bukan asli orang Arab, melainkan dari Gorgan, Iran.  Aspek kemukjizatan baginya tidak terbatas pada orang-orang asli Arab saja yang sejak lahir sudah memiliki malakah dan salīqah dalam berbahasa dan bersastra Arab. Aspek kemukjizatan balaghah dalam Al-Qur’an bisa dinikmati, dirasakan dan dinalar oleh orang-orang dengan berbagai macam latar belakang. Itulah mengapa al-Jurjani tidak sependapat dengan mereka yang memberikan porsi tinggi terhadap lafaz sebagai aspek kemukjizatan balaghah Al-Qur’an.

Selanjutnya, apakah aspek itu terletak pada makna? Al-Jurjani kembali menyimpulkan, tidak. Makna yang dimaksud di sini adalah makna biasa (makna leksikal), bukan makna spesifik seperti makna psikologis yang ada dalam pikiran (al-ma’nā al-nafsī) yang dimaksud oleh struktur/tarkīb. Maka pada ungkapan al-ḥamd li Allāh Rabb al-‘ālamīn sebenarnya secara mudah dapat dipahami dengan baik tanpa penyentuh kepada aspek balaghahnya. Bahkan ungkapan itu bisa diredaksikan ulang dengan misalnya naḥmad Ilāhanā Rabb al-kaun. Namun sekali lagi, baginya, aspek kemukjizatan balaghah Al-Qur’an tidak ada di sini.

Berikutnya, apakah aspek kemukjizatan balaghah Al-Qur’an itu terletak pada keselarasan bunyi (īqā’) yang dibentuk oleh perpaduan huruf, harakat dan sukun seperti sajak dan qāfiyah pada akhir ayat di dalam banyak surah Al-Qur’an? Bagi al-Jurjani tidak. Sebab keselarasan bunyi tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Sajak dan qāfiyah sudah lumrah digunakan oleh orang-orang Arab dalam puisi dan prosa. Jika memang keselarasan bunyi itu yang menjadi aspek kemukjizatan, niscaya para penantang-penantang Al-Qur’an seperti Musailamah al-Kadzdzab mampu melakukannya.

Apakah aspek kemukjizatan balaghah Al-Qur’an itu ada pada penggunaan bahasa-bahasa yang asing (garīb)? Bagi al-Jurjani tidak. Sebab Al-Qur’an tidak banyak menggunakan kata-kata yang garīb. Bahkan ada beberapa surah panjang dalam Al-Qur’an yang tidak satupun memuat kata garīb.

Apakah aspek kemukjizatan balaghah Al-Qur’an itu ada pada bacaan yang mudah diucapkan (khiffah al-ḥarakah wa al-nuṭq)? Bagi al-Jurjani tidak. Mengapa? Sebab teks-teks selain Al-Qur’an pun di kalangan orang-orang Arab pada dasarnya banyak yang memang mudah dan ringan diucapkan oleh lisan mereka. Artinya, mereka mampu menciptakan itu.

Lalu, di mana letak kemukjizatan balaghah Al-Qur’an perspektif al-Jurjani? Simak pernyataan al-Jurjani (1992: 391) berikut, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Darwisy (2010: 64):
"وإِذا امتنعَ ذلكَ لم يبْقَ إلاَّ أَن يكونَ (الإعجاز) في النظْمِ والتأليفِ، لأنه ليس مِنْ بَعْدِ ما أَبطَلْنا أن يكونَ فيه إلا النظم."
“Ketika semua aspek tersebut tak dapat diterima (sebagai aspek kemukjizatan), maka yang tersisa hanya naẓm dan ta’līf. Hanya itulah yang tersisa dari semua aspek yang kami tolak.”

Namun, semua aspek-aspek di atas yang ditolak oleh Al-Jurjani sebagai aspek kemukjizatan balaghah Al-Qur’an bukan berarti tidak memiliki nilai faṣāḥah maupun balaghah. Sama sekali bukan itu yang dimaksud oleh penolakan al-Jurjani. Aspek-aspek itu tetap memiliki nilai keindahan yang termasuk dalam aspek faṣāḥah atau balaghah namun bagi al-Jurjani tidak bisa menjadi aspek tunggal bagi pembuktian kemukjizatan Al-Qur’an lantaran bukan sesuatu yang baru dalam tradisi kesusastraan Arab. Aspek-aspek tersebut hanya akan menjadi rangkaian ketika disusun dengan aspek lain yang kemudian membentuk struktur (naẓm), dan di sanalah letak kemukjizatan balaghah Al-Qur’an perspektif al-Jurjani.

Al-Jurjani membuat semacam ilustrasi untuk menggambarkan naẓm. Ia mengaitkannya dengan karya kesenian lainnya seperti lukisan dan pahatan/ukiran (al-Jurjani, 1992: 87). Bahwa sebuah karya seni lukis yang apik dan indah adalah perpaduan antara satu bahan dengan bahan yang lain kemudian dituangkan di dalam sebuah media (kanvas) oleh seorang pelukis terkenal. Ia membuat irisan-irisan, garis-garis, gradasi-gradasi, dan pencampuran warna yang detail sedemikian rupa sehingga tergambar sebuah lukisan yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Setiap satu irisan garis diletakkan dengat tepat, lalu dipadukan dengan irisan yang lain. Setiap gradasi diposisikan pada tempatnya secara detail dan dipadukan dengan gradasi lainnya. Setiap warna diletakkan pada tempatnya dan dipadukan dengan warna lainnya. Jika ada bagian kecil saja dari irisan garis atau gradasi atau warna yang tidak tepat pada tempatnya, niscaya akan mempengaruhi keselarasan paduan dan tentu akan menurunkan kadar keindahan lukisan tersebut.

Di waktu yang sama, ada seorang pelukis pemula juga membuat lukisan yang sama. Komponen bahannya juga sama, warna-warna yang digunakan juga sama, namun ia tidak mampu merajut perpaduan irisan garis, gradasi dan warna yang apik sebagaimana yang diciptakan oleh pelukis profesional. Alhasil, kedua lukisan itu memiliki nilai yang berbeda, meski dengan bahan dan komponen yang sebenarnya sudah lumrah digunakan oleh para pelukis lain.

Apa kira-kira yang membuat lukisan yang pertama memiliki nilai artistik yang tinggi sementara yang kedua tidak? Tentu keselaran perpaduan garis, gradasi dan warna yang apik, yang membentuk kesatuan lukisan yang padu, dan tidak bisa dipandang sebagai bagian yang terpisah-pisah. Perpaduan komponen yang presisi dalam membentuk lukisan tersebut bukan sesuatu yang tidak disengaja atau kebetulan, melainkan memang melalui perencanaan dan kesengajaan sesuai dengan keinginan dan maksud pelukisnya. Begitulah teori naẓm diilustrasikan oleh al-Jurjani.

Naẓm perspektif al-Jurjani bertumpu pada fungsionalitas nahwu. Ahmad Darwisy mengemukakan bahwa naẓm menurut al-Jurjani adalah struktur/tarkīb yang dirangkai melalui pemilihan dan penyusunan komponen yang detail dan proporsional berdasarkan makna-makna di balik fungsi sintaksisnya (ma’ānī naḥwīyah) yang dipadukan dengan makna-makna di dalam pikiran (ma’ānī nafsīyah) yang menjadi tujuannya. Jadi, dalam teori naẓm, nahwu memiliki peran sebagai pembentuk utama suatu struktur. Tidak mungkin merangkai suatu struktur tanpa menggunakan bahan dasarnya yaitu nahwu. Dan struktur itulah yang melahirkan makna nafsī.

Ada dua istilah yang perlu dipahami di sini: (1) Makna di balik fungsi sintaksis (ma’ānī naḥwīyah), yaitu makna yang dihasilkan oleh kedudukan suatu kata dalam nahwu. Contoh dalam surah al-Baqarah 16 (فما ربحتْ تجارتُهم). Di dalam nahwu, lafaz tijāratuhum berkedudukan sebagai pelaku/fā’il, ditandai dengan tanda rafa’. Namun bukan itu yang dimaksud ma’nā naḥwī, melainkan sebuah pemahaman tentang mengapa tijāratuhum menjadi fā’il dari mā rabiḥat. Tijārah memiliki arti perdagangan, sementara rabiḥat memiliki arti tidak beruntung. Bukankah yang tidak beruntung seharusnya adalah orangnya bukan dagangannya? Lalu mengapa yang menjadi fā’il adalah tijārah? Pembahasan inilah yang dimaksud ma’ānī naḥwīyah atau makna di balik fungsi sintaksis. (2) Makna psikologis (ma’ānī nafsīyah), yaitu makna di dalam pikiran yang diinginkan oleh pengarang melalui struktur teks yang disusunnya, atau makna yang dihasilkan oleh pemilihan bentuk kata secara detail. Makna psikologis ini dapat disebut sebagai tujuan dari terbentuknya suatu struktur. Seperti contoh pada penggalan ayat di atas, mengapa lafaz rabiḥat menggunakan bentuk māḍī, dan tidak menggunakan bentuk muḍāri’? Mengapa menggunakan rabiḥat, dan tidak menggunakan kata lain seperti ḥaṣala, atau ẓafira? Contoh lain, dalam susunan (الحمد لله), mengapa susunannya mubtada’ + khabar, dan bukan khabar muqaddam + mubtada’ muakhkhar? Mengapa menggunakan al-ḥamdu, dan bukan al-syukru atau al-madḥu? Makna yang menjadi alasan/tujuan mutakallim itulah disebut ma’ānī nafsīyah.

Ada kemiripan antara ma’ānī naḥwīyah dan ma’ānī nafsīyah. Ma’ānī nafsīyah lebih luas cakupannya dari pada ma’ānī naḥwīyah karena menjadi maksud dan tujuan seorang mutakallim dalam menyusun struktur perkataannya, sementara ma’ānī naḥwīyah lebih sempit karena hanya membahas makna di balik fungsi sintaksis suatu kata.

Peran nahwu dalam pembentukan naẓm sangat krusial. Al-Jurjani (1992: 81) mengungkapkan:
إعلم أنْ ليسَ "النظمُ" إِلا أن تضعَ كلامكَ الوضعَ الذي يَقتضيهِ "علمُ النحو"، وتعملَ على قوانينهِ وأُصولِه، وتعرفَ مناهجَه التي نُهِجتْ فلا تزيغَ عنها، وتحفَظُ الرُّسومَ التي رُسمتْ لك، فلا تُخِلَّ بشيءٍ منها. وذلك أنَّا لا نَعلم شيئاً يبتغيهِ الناظمُ بنَظْمه غيرَ أنَ ينظرَ في وُجوهِ كلَّ بابٍ وفُروقهِ، فينظرَ في "الخبرِ" إِلى الوجوهِ التي تَراها في قولك: "زيدٌ منطلقٌ" و "زيدٌ يَنطلِقُ"، و "ينطلِقُ زيدٌ" و "منطلِقٌ زيدٌ"، و "زيدٌ المُنطلِقُ" و "المنطلِقُ زيدٌ" و "زيدٌ هوَ المنطلقُ"، وزيدٌ هو منطلِقٌ". وفي "الشرطِ والجزاء" إِلى الوجوه التي تَراها في قولك: "إنْ تَخْرُجْ أَخرجْ" و "إنْ خرجْتَ خرجْتُ" و "إن تخرجْ فأنا خارجٌ" و "أنا خارجٌ إن خرجتَ" و "أنا إنْ خرجْتَ خارجٌ".
“Ketahuilah, Naẓm adalah ketika engkau membuat suatu susunan kalam sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ilmu nahwu: bekerja berdasarkan aturan-aturannya, mengetahui cara kerjanya, menguasai hal-hal yang spesifik di dalamnya, dan tak mungkin dapat terlepas darinya... Kita tidak akan mengetahui apa yang diinginkan oleh seorang pengarang dari hasil karyanya kecuali terlebih dahulu melihat segala aspek-aspek nahwu-nya... Maka susunan زيد منطلق berbeda maknanya dengan زيد ينطلق meski sama-sama terdiri dari mubtada’ dan khabar. Susunan إن تخرج أخرج berbeda maknanya dengan إن خرجت خرجت meski sama-sama terdiri dari syarat dan jawab. Dst.”

Dengan demikian, naẓm dapat diwujudkan melalui fungsi sintaksis untuk menemukan makna-makna di baliknya (ma’ānī naḥwīyah) sehingga kemudian dicurahkan dalam pemilihan dan penyusunan kata yang presisi sesuai dengan makna psikologis (ma’ānī nafsīyah). Ahmad Darwisy, dalam kaitannya dengan fungsi sintaksis, menekankan dua aspek: Pertama, adanya perbedaan antara fungsi sintaksis yang dipahami dalam ilmu nahwu secara umum dengan makna di balik fungsi sintaksis (ma’ānī naḥwīyah) yang perlu di pahami dalam konteks naẓm perspektif al-Jurjani. Fungsi sintaksis yang dipahami secara umum dalam ilmu nahwu hanya berkisar pada pembahasan kedudukan suatu kata dalam kalimat dan untuk menyesuaikan susunan dengan kaidah agar tidak terjadi kesalahan. Seperti pada contoh di atas, lafaz تجارتهم dari kalimat فما ربحت تجارتهم menjadi fā’il. Oleh karenanya, secara aturan nahwu, lafaz tersebut ditandai dengan harakat dammah lantaran ber-i’rāb rafa’ (marfū’). Berbeda halnya dengan makna di balik fungsi sintaksis yang pada dasarnya sudah selesai dengan urusan yang berkaitan dengan kaidah-kaidah sintaksis/nahwu itu sendiri. Ia melangkah lebih jauh membahas makna yang ada di balik fungsi sintaksis tersebut. Makna di balik fungsi sintaksis akan mempertanyakan mengapa lafaz tijāratuhum yang menjadi fā’il, sementara seharusnya yang menjadi pelaku dari mā rabiḥat adalah orangnya? Selanjutnya, lafaz تجارتهم yang menjadi fā’il tersebut terdiri dari dua elemen yaitu muḍāf dan muḍāf ilayh. Pertanyaannya, mengapa harus di-muḍāf -kan kepada kata ganti, bukankah cukup menjadikannya ma’rifat dengan alif-lam sehingga menjadi فما ربحت التجارة? Ada makna apa di balik susunan iḍāfah tersebut? Jawaban dari pertanyaan itu disebut ma’ānī naḥwīyah, atau makna yang ada di balik fungsi sintaksis.

Dr. Abdul Qadir Husain di dalam al-Mukhtaṣar fī Tārīkh al-Balāgah mengatakan: Al-Jurjani tidak melihat nahwu seperti apa yang kita lihat pada umumnya sebagaimana yang banyak tertera pada kitab-kitab nahwu. Baginya, nahwu bukan sekedar mengetahui benar dan salahnya suatu ungkapan berdasarkan kaidah-kaidah i’rāb-nya. Namun lebih dari itu, ia memandang nahwu sebagai sesuatu yang sudah melampau jauh kepada aspek keindahan, kepada aspek gaya bahasa suatu ungkapan: antara indah dan tidak, bukan benar dan salah. Ma’ānī naḥwīyah dalam konteks naẓm perspektif al-Jurjani tidak membahas “lafaz ini menjadi mubtada’, lafaz ini menjadi khabar, lafaz ini menjadi fāil, atau maf’ūl,” dan seterusnya, melainkan menjadikan suatu kata berkelindan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan; suatu lafaz saling berkaitan dengan lafaz yang lain dalam sebuah struktur; menjadikan peletakan suatu bagian sebagai perantara bagi peletakan bagian yang lain (Husain, 2010: 42).

Mengapa pada contoh فما ربحت تجارتهم status fā’il diberikan kepada tijārah, bukan kepada orangnya, yaitu mereka yang melakukan jual beli kesesatan dan petunjuk (الذين اشتروا الضلالة بالهدى)? Mengapa tidak menggunakan susunan seperti فما ربحوا? Padahal jika mengacu kepada makna leksikal, beruntung dan merugi itu seharusnya disandarkan kepada orang, bukan kepada yang lainnya. Di sinilah fungsi sintaksis mengantarkan ungkapan tersebut kepada aspek yang lebih indah, yaitu aspek majāz. Lalu makna apa yang diisyaratkan oleh struktur ungkapan tersebut? Ahmad Darwisy menjelaskan bahwa struktur yang membentuk majāz tersebut mengisyaratkan bahwa harta dalam perdagangan merupakan sesuatu yang diutamakan dan didahulukan, sehingga pemilik dan pelakunya pun mengikuti kondisi harta tersebut. Ketika harta dan dagangannya mengalami defisit, maka merugilah pemiliknya (Darwisy & Jadwa, 2010: 69). Selain itu, hal tersebut juga mengisyaratkan bahwa pelaku jual beli hidayah Allah dengan kesesatan merupakan orang-orang yang gila harta, yang ketika dagangannya mengalami kemunduran, ia pun akan merugi.

Kedua, untuk sampai kepada naẓm sebagaimana yang dimaksud oleh al-Jurjani, tidak cukup hanya menemukan ma’ānī naḥwīyah saja, namun harus dilanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu merangkainya pada susunan struktur yang lebih kompleks melalui dua cara yaitu pemilihan (ikhtiyār) kata yang tepat dan detail sesuai dengan makna nafsī yang diinginkan, serta perangkaian dan penyusunan (ta’līf) dengan sekiranya menempatkan kata tersebut pada posisi yang tepat dan detail.

Bagaimana cara melihat pemilihan dan perangkaian kata yang tepat dan detail? Yaitu sekiranya kata tersebut diganti dengan kata lain yang bahkan dianggap bersinonim, atau posisinya dipindah ke tempat lain, maka akan mengubah ma’nā nafsī atau tujuan dan maksud dari kalam tersebut. Susunan الحمد لله merupakan ‘racikan’ yang tepat dan detail, tidak bisa diubah oleh kata lain seperti المدح لله, atau sekedar posisinya dipindah seperti لله الحمد. Sebab jika diubah sedikit saja, maka akan menggerus ma’nā nafsī yang diisyaratkan oleh susunan yang seharusnya.

Sayyid Qutub dalam al-Taṣwīr al-Fannī fī al-Qur’ān di bagian pendahuluan menyinggung dan memuji teori naẓm perspektif al-Jurjani sebagai bagian dari ‘cara estetik’ dalam melihat keindahan Al-Qur’an (Qutub, 2004: 31). Ia mengutip Dalāil al-I’jāz dalam mengungkapkan salah satu contoh ‘cara kerja’ teori naẓm dalam menguak nilai estetik dalam surah Maryam ayat 4: واشتعل الرأس شيبا. Al-Jurjani -sebagaimana dikutip oleh Sayyid Qutub-, menjelaskan:
"فإِن قلْتَ: فما السببُ في أَنْ كان "اشتعلَ" إِذا استُعيرَ للشَّيْب على هَذا الوجهِ، كان لهُ الفضْلُ؟ ولمَ بانَ بالمزيَّةِ منَ الوَجهِ الآخرِ هذه البَيْنُونَة؟ فإنَّ السببَ أَنَّه يُفيدُ، معَ لمَعانِ الشيبِ في الرأسِ الذي هو أَصْلُ المعنى، الشُّمولَ، وأَنَّه قد شاعَ فيه، وأَخذَه من نواحيهِ، وأنه قد استغرقه وعمَّ جُمْلَتَه، حتى لم يَبْقَ من السَّوادِ شيءٌ، أوْ لم يبْقَ منه إلاَّ ما لا يُعْتَدُّ به. وهذا ما لا يكونُ إِذا قيلَ: "اشتعلَ شَيبُ الرأسِ، أو الشيبُ في الرأس"، بل لا يُوجِبُ اللفظُ حينئذٍ أكثرَ مِنْ ظهورهِ فيه على الجُملة. وَوِزانُ هذا أنك تقولُ: "اشتعلَ البيْتُ ناراً"، فيكونُ المعنى: أنَّ النارَ قد وقَعَتْ فيه وُقوع الشُّمولِ، وأنَّها قد استولَتْ عليه وأخذَتْ في طرفَيْه ووَسَطِه. وتقولُ: "اشتعلتِ النارُ في البيت"، فلا يُفيد ذلك، بل لا يُقْتضَى أكثرُ من وقوعِها فيه، وإِصابتها جانباً منه. فأمَّا الشُّمول وأنْ تكونَ قد استولتَ على البيت وابتزته، فلا يعقل من اللفظ البتة."
“Jika anda bertanya, mengapa lafaz “isyta’ala” (menyala) dipinjam untuk lafaz “al-syaib” (uban) dengan menggunakan susunan seperti ini (اشتعل الرأس شيبا) sehingga menonjol keutamaannya? Mengapa susunan ini memiliki keistimewaan dari pada susunan yang lain? Penyebabnya adalah sesungguhnya susunan ini memberikan pemahaman bahwa selain uban yang menyala di kepala yang memang menjadi asal maknanya, juga memberikan pemahaman kemenyeluruhan uban yang dimaksud. Uban yang tumbuh di kepala tersebut telah mewarnai seluruh rambut kepala dan mendominasi, sehingga tidak ada satu pun rambut hitam yang masih tersisa, atau uban tidak memberikan sisa tempat lagi bagi rambut hitam di kepalanya kecuali pada sedikit tempat yang tidak berarti. Makna ini tidak akan didapatkan apabila susunannya sebagai berikut: أشتعل شيب الرأس atau اشتعل الشيب في الرأس. Jika susunannya seperti itu, maka bisa jadi yang dimaksud uban yang tumbuh hanya sedikit di bagian kepala dan tidak menyuluruh atau mendominasi.” (al-Jurjani, 1992: 101; Qutub, 2004: 32).

Sangat jelas penjelasan al-Jurjani dalam mencontohkan bagaimana teori naẓm dalam menganalisis penggalan surah Maryam ayat 4 tersebut. Pada ayat tersebut terdapat kalimat اشتعل الرأس شيبا, yang terdiri dari susunan fi’il, fā’il dan tamyīz. Fā’il dari lafaz isyta’ala (menyala) pada susunan tersebut adalah al-ra’s (kepala); dalam artian yang menyala adalah kepala, sedangkan pada kenyataannya yang menyala sejatinya bukan kepala, tapi uban yang berwarna putih. Mengapa susunan tersebut ‘dibuat’ demikian? Hal tersebut untuk mencapai ma’nā nafsī, atau makna yang diinginkan, yaitu bahwa uban yang tumbuh sudah lebat dan mendominasi seluruh kepala. Jika kalimat tersebut disusun menjadi اشتعل الشيب في الرأس (yang menjadi fā’il adalah al-syaib, bukan al-ra’s), maka tidak bisa memberikan kesimpulan bahwa ubannya sudah mendominasi kepala, bisa jadi hanya sedikit dan beberapa helai saja. Jadi, ma’nā nafsī atau maksud yang diinginkan oleh mutakallim tersebut diungkapkan melalui susunan atau tarkīb yang betul-betul presisi, yang sekiranya apabila diubah sedikit saja, akan mengubah makna yang dimaksud. Begitulah teori naẓm bekerja.

Pada contoh penerapan di atas, jika dilihat hanya menggunakan kaca mata fungsi sintaksis atau nahwu saja, maka yang akan dianalisis hanya sebatas kedudukan fi’il, fā’il dan tamyīz. Fi’il statusnya mabnī; fā’il harus marfū’, tandanya dammah; dan tamyīz harus manṣūb, tandanya fathah. Hanya sebatas itu. Demikian pula jika contoh di atas hanya dilihat dari aspek balaghah-nya saja tanpa melalui pintu naẓm, maka hanya akan menemukan bahwa susunan tersebut merupakan susunan isti’ārah, tidak lebih dari itu.

Meski demikian, fungsi sintaksis tentap menjadi fondasi dalam struktur. Untuk menyusun suatu struktur, berawal dari fungsi sintaksis terlebih dahulu, barulah kemudian naẓm akan menguak makna-makna dibalik fungsi sintaksis tersebut. Demikian pula dengan balaghah, isti’ārah merupakan hasil dari rangkaian suatu struktur. Dan untuk membaca makna dibalik struktur yang membentuk isti’ārah tesebut, naẓm lah pintunya. Al-Jurjani berkata:
"إنَّ في الاستعارةِ ما لا يُمكنُ بَيانُه إلاَّ مِنْ بَعد العلمِ بالنظْم والوقوفِ على حقيقته."
“Sesungguhnya di dalam isti’ārah terdapat hal-hal yang tidak mungkin bisa dijelaskan kecuali setelah mengetahui tentang susunan kalimat (naẓm) dan mendalami hakikatnya.” (al-Jurjani, 1992: 100).

Teori naẓm selalu mempertanyakan susunan: “mengapa susunannya demikian?”, “makna apa di balik susunan seperti itu?”, “jika susunannya diubah, makna apa yang akan berubah?” Atau mempertanyakan pemilihan diksi: “mengapa menggunakan pilihan kata itu?”, “mengapa kata itu yang dipilih untuk bergandengan dengan kata ini?”, “jika kata itu diganti dengan kata lain yang dianggap bersinonim, makna apa yang berubah”, dan seterusnya.

Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa titik kemukjizatan bahasa Al-Qur’an perspektif Abdul Qahir al-Jurjani tidak terletak pada huruf, lafaz dan maknanya secara mandiri. Tidak pula terletak pada keselarasan bunyi dan musikalitasnya seperti sajak dan qāfiyah. Demikian pula tidak terletak pada penggunaan diksi yang garīb atau pilihan kata yang mudah diucapkan oleh lisan. Titik kemukjizatan menurut al-Jurjani terletak pada naẓm, yaitu susunan atau struktur yang indah, detail dan proporsional, yang dirangkai oleh komponen-komponen lafaz dan diikat oleh fungsi sintaksis. Al-Jurjani bukanlah orang pertama yang membahas naẓm, ia melanjutkannya dari beberapa ulama yang lebih dahulu membahasnya, seperti al-Baqillani, al-Qadli Abdul Jabbar dan al-Jahidz, meski ada beberapa perbedaan spesifik di antara mereka. Kendati demikian, al-Jurjani-lah yang kemudian lebih dikenal dan diasosiasikan sebagai pemilik teori naẓm.

Naẓm perspektif al-Jurjani adalah struktur/tarkīb yang indah yang dirangkai melalui pemilihan dan penyusunan komponen yang tepat, detail dan proporsional berdasarkan makna-makna di balik fungsi sintaksisnya (ma’ānī naḥwīyah) yang dipadukan dengan makna-makna psikologis (ma’ānī nafsīyah) yang menjadi tujuannya. Proses penyusunan struktur tersebut dilakukan melalui dua metode: ikhtiyār, yaitu pemilihan komponen yang tepat; dan ta’līf, yaitu penyusunan dan penempatan komponen tersebut secara detail dan proporsional pada posisi yang juga tepat.

Di dalam teori naẓm, nahwu memiliki peran sebagai perangkai utama suatu struktur. Tidak mungkin merangkai komponen-komponen bahasa menjadi suatu struktur tanpa menggunakan bahan dasarnya yaitu nahwu. Dan struktur itulah nanti yang akan melahirkan makna psikologis atau ma’nā nafsī.

Daftar Pustaka
Abbas, Fadl Hasan. I’jāz al-Qur’ān al-Majīd Dirāsah fī Tārīkh al-I’jāz wa Juhūd al-‘Ulamā’ al-Aqdamīn wa al-Muḥaddiṡīn. Yordan: Dār al-Nafāis. 2016.
Al-Amadi, Abu al-Qasim. Al-Muwāzanah Baina Abī Tamām wa al-Buḥturī. Bairut: Dār al-Ma’ārif. 1994.
Al-Askari, Abu Hilal. Al-Ṣinā’atain. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī. 1971.
Al-Bagha, Mushthafa Dib. Al-Wāḍiḥ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Damaskus: Dār al-‘Ulūm al-Insānīyah. 1998.
Al-Baqillani, Abu Bakar. I’jāz Al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Ma’ārif. 1997.
Al-Dzahabi, Syamsuddin. Siyar A’lām al-Nubalā’. Kairo: Dār al-Ḥadīṡ. 2006.
Al-Ghautsani, Yahya. Rasyafāt min Raḥīq al-Bayān al-Qur’ānī. Istanbul: Dār al-Gauṡānī. 2019.
Al-Hamawi, Yaqut. Mu’jam al-Udabā’: Irsyād al-Arīb ilā Ma’rifah al-Adīb, Muhaqqiq: Ihsan Abbas. Bairut: Dār al-Garb al-Islāmī. 1993.
Al-Jahidz. Al-Ḥayawān. Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H.
Al-Jurjani, Abdul Qahir. Dalāil al-I’jāz, Ed: Mahmud Muhammad Syakir. Kairo: Maktabah al-Khanjī. 1984.
Al-Jurjani, Abdul Qahir. Dalāil al-I’jāz. Kairo: Maṭba’ah al-Madanī. 1992.
Al-Mubassyir, Muhammad & Abdul Wahab Naf’an “Dualism of Words and Meanings: The Debate Among I’jāz Scholars and Classical Arabic Critics”, JALSAT Journal of Arabic Language Studies and Teaching. Vol. 1, No. 1. 2024.
Al-Sakaki, Yusuf bin Abu Bakar. Miftāḥ al-‘Ulūm. Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah. 1987.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: al-Hai’ah al-Miṣrīyah al-Āmmah li al-Kitāb. 1974.
Al-Zamakhsyari, Abu al-Qasim. Al-Kasysyāf an Ḥaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl. Bairut: Dār al-Kutub al-Arabī. 1407 H.
Ammar, Utsmani. Malāmiḥ Tajdīd al-Balāgah fī Kitāb “Al-Balāgah al-‘Arabīyah, Qirā’ah Ukhrā” li Muḥammad ‘Abd al-Muṭṭalib – Dirāsah Taḥlīlīyah Naqdīyah (Disertasi). Aljazair: Universite d'Oran. 2016.
Arafah, Abdul Aziz. Qaḍīyah al-I’jāz al-Qur’ānī wa Aṡaruhā fī Tadwīn al-Balāgah al-Arabīyah. Bairut: Ālam al-Kutub. 1985.
Dahmani, Hamzah. “Ṡunāiyah al-Lafẓ wa al-Ma’nā fī Kitāb al-Ṣinā’atain li Abī Hilāl al-Askarī”, Majallah Qirā-āt li al-Buḥūṡ wa al-Dirāsāt al-Adabīyah wa al-Naqdīyah wa al-Lugawīyah. Vol 3. 2013.
Darwisy, Ahmad & Izzah Jadwa’. Al-Balāgah al-Qur’ānīyah Dirāsah fī Jamāliyāt al-Naṣṣ al-Qur’ānī. Mesir: Maktabah al-Rusyd. 2010.
Dersevi, Salih. “The Role Dialectical Pronunciation and Meaning in the Emergence of Systems Theory”, Ihya International Journal of Islamic Studies. Vol. 9, No. 2, 2023.
Husain, Abdul Qadir. Al-Mukhtaṣar fī Tārīkh al-Balāghah. Kairo: Dār al-Garīb. 2010.
Jabal, Syakir Jud’an. “Al-Qirā’ah al-Naqdīyah ‘Inda ‘Abd al-Qāhir al-Jurjānī”, Alustath Journal for Human and Social Sciences. No. 140, 2011.
Jabbar, Al-Qadli Abdul. Al-Mugnī fī Abwāb Tauḥīd wa al-‘Adl – I’jāz al-Qur’ān. Kairo: Wizārah al-Ṡaqafīyah wa al-Irsyād al-Qaumī. Tt.
Jinni, Ibnu. Al-Khaṣāiṣ. Mesir: Hai’ah al-Miṣrīyah al-Āmmah li al-Kitāb. 1431 H.
Khaldun, Ibnu Khaldun. Tārīkh Ibnu Khaldūn. Bairut: Dār al-Fikr. 1988.
Lakehal, Hocine. “Ṡunāiyah al-Lafẓ wa al-Ma’nā Inda Abī Hilāl al-Askarī”, Majallah al-Mi’yār. Vol 27, No 4. 2023.
Mathlub, Ahmad. ‘Abd al-Qāhir al-Jurjānī Balāgatuhū wa Naqduhū. Kuwait: Wakālah al-Maṭbū’ah. 1973.
Qalqailah, Abduh Abdul Aziz. “Baina al-Qāḍī al-Jurjānī wa ‘Abd al-Qāhir al-Jurjānī”, Al-Dārah: Dārah al-Malik Abdulaziz. Vol. 6, No. 3. 1981.
Qutub, Sayyid Qutub. Al-Taṣwīr al-Fannī fī al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Syurūq. 2004.
Zainay, Thariq. “Naẓarīyah al-Naẓm wa Tajallīyātuhā fī al-Naqd al-Arabī al-Qadīm”, Majallah al-Ẓākirah. Vol. 8, No. 2, 2020.
Zayid, Ali Ashri. Al-Balāgah al-‘Arabīyah Tārīkhuhā Maṣādiruhā Manāhijuhā. Mesir: Maktabah al-Syabāb. 1982.