Teori Naẓm Perspektif Abdul Qahir al-Jurjani (1/3)
Table of Contents
Abstrak: Pasca pertumbuhan dan perkembangan keilmuan bahasa Arab, perintisan ilmu balaghah yang dilatarbelakangi oleh i’jāz Al-Qur’an mulai menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Perbincangan itu berawal pada titik kemukjizatan Al-Qur’an yang tak jarang dari mereka saling bertentangan satu sama lain. Di antara pembahasan menarik yang menjadi perhatian pemikiran para ulama dan kritikus kala itu adalah teori naẓm yang disebut-sebut sebagai titik kemukjizatan bahasa Al-Qur’an dan kemudian diasosiasikan sebagai buah pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H.). Meski demikian, pada dasarnya teori ini menjadi pembahasan sejak sebelum al-Jurjani. Al-Jurjani melanjutkan, menyempurnakan dan menuntaskan pembahasannya dari apa yang sudah dimulai oleh para pendahulunya. Melalui pembacaan terhadap karya al-Jurjani, yaitu Dalāil al-I’jāz, serta mengacu kepada Ahmad Darwisy dan Izzah Jadwa dalam bukunya al-Balāgah al-Qur’ānīyah Dirāsah fī Jamāliyāt al-Naṣṣ al-Qur’ānī dengan dipadukan oleh beberapa sumber pustaka lainnya, artikel ini membahas teori naẓm perspektif Abdul Qahir al-Jurjani, posisinya dalam keilmuan bahasa Arab, dan spesifikasinya berbanding teori naẓm yang pernah dibahas oleh beberapa pendahulunya. Dari pendalaman terhadap sumber pustaka, artikel ini menyimpulkan bahwa teori naẓm perspektif Abdul Qahir al-Jurjani adalah rangkaian struktur atau tarkīb yang disusun melalui pemilihan komponen yang detail, spesifik dan proporsional berdasarkan makna-makna sintaksisnya (ma’ānī naḥwīyah) yang mengacu kepada makna-makna di dalam pikiran (ma’ānī nafsīyah) yang menjadi tujuannya. Proses penyusunan tersebut dilakukan melalui dua metode, ikhtiyār dan ta’līf.Kata kunci: Naẓm, Abdul Qahir al-Jurjani, I’jāz Al-Qur’an.
Pendahuluan
Mengkaji
Al-Qur’an tidak akan pernah ada habisnya. Semakin diselami kedalamannya,
semakin tak berujung pula sesuatu yang harus ditempuhnya. Al-Qur’an tak sekedar
samudera yang masih berujung dan bertepi. Al-Qur’an tak terdeskripsikan oleh
pengandaian dan model-model apapun. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang untuk
membacanya butuh kesiapan banyak hal, untuk mengkajinya butuh kehati-hatian, untuk
memahaminya butuh perangkat-perangkat keilmuan, dan untuk menguak
rahasia-rahasianya butuh kejernihan hati dan pikiran. Namun demikian, Al-Qur’an
terbuka untuk siapapun yang ingin membaca dan mengkajinya. Niscaya akan
ditemukan rahasia-rahasia di dalamnya sesuai kadar keilmuan yang merangkainya.
Untuk
mempelajari dan memahami kandungan setiap ayat yang ada dalam Al-Qur’an
membutuhkan banyak ragam ilmu. Al-Suyuthi dalam Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān
menyampaikan bahwa diperlukan setidaknya 80 cabang ilmu untuk mengkaji
Al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan ‘Ulūm al-Qur’ān (al-Suyuthi,
1974: 1/31). Jika dipecah kembali, maka bisa sampai kurang lebih 300 cabang
keilmuan.
Secara
historis, kajian terhadap Al-Qur’an dimulai sejak zaman Rasulullah Saw. bersama
para sahabat. Hanya saja pada masa ini belum ada kodifikasi ilmu-ilmu Al-Qur’an
karena memang tidak dibutuhkan. Segala pembahasan dan penafsiran tentang
Al-Qur’an dikembalikan langsung kepada Rasulullah Saw. Dialah yang menerima
wahyu, menyampaikan kepada para sahabat dan menjelaskan makna-maknanya
(al-Bagha, 1998: 9).
Pada
masa berikutnya, pasca wafatnya Rasulullah Saw. kajian Al-Qur’an mulai
digalakkan oleh para sahabat, terlebih pasca kodifikasi Al-Qur’an pada masa
Utsman bin Affan. Sejak masa ini mulai bermunculan ilmu-ilmu Al-Qu’ran yang di
antaranya kemudian dikenal dengan ilmu Rasm Al-Qur’an, ilmu Tafsir, ilmu
Asbabunnuzul, ilmu Nasikh Mansukh, ilmu Gharib Al-Qur’an, dan juga ilmu nahwu.
Yang terakhir ini merupakan ilmu yang diinisiasi oleh Ali bin Abi Thalib yang
kemudian dilanjutkan oleh Abu al-Aswad al-Du’ali dengan tujuan menjaga
kemurniaan bahasa Al-Qur’an yang mulai tercemari oleh kesalahan-kesalahan (laḥn)
dalam berbahasa.
Sejak
masa pra-Islam, bahasa Arab memang tidak memiliki teori kebahasaan yang
spesifik. Tradisi bahasa dan sastra Arab yang kental pada masa Jahiliyah tidak
dibangun atas dasar aturan-aturan berbahasa dan kaidah-kaidah kesusastraan yang
mengikat proses ibdā’ para penyairnya. Perkembangan sastra Arab di
kalangan penyair Jahiliyah merupakan tradisi atau budaya yang dibangun atas malakah,
żauq dan salīqah yang secara natural memang mereka miliki. Justru
dari karya-karya syair Jahiliyah itulah -selain juga Al-Qur’an dan hadis-,
pondasi-pondasi kaidah bahasa Arab dirumuskan oleh para founder pasca Khulafaurrasyidin
yang dikenal dengan ilmu nahwu, dan kemudian berkembang dengan nomenklatur yang
bemacam-macam sesuai dengan cakupan sisi keilmuannya, termasuk ilmu balaghah
Metode
Penelitian
Kajian
pustaka adalah pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dengan deskriptif
kualitatif sebagai metodenya. Melalui pembacaan terhadap karya Abdul Qahir
al-Jurjani yaitu Dalāil al-I’jāz, serta mengacu kepada Ahmad Darwisy dan
Izzah Jadwa dalam bukunya al-Balāgah al-Qur’ānīyah Dirāsah fī Jamāliyāt
al-Naṣṣ al-Qur’ānī dengan dipadu oleh beberapa sumber pustaka utama
lainnya, artikel ini membahas teori naẓm perspektif Abdul Qahir al-Jurjani
dan posisinya dalam kajian kebahasaan serta kaitannya dengan teori-teori lain
dari para kritikus dan ulama i’jāz pada masanya dan sebelumnya. Kajian
pustaka digunakan untuk menelusuri sumber-sumber utama pada abad ke-2 sampai
sekitar abad ke-5 Hijriyah dari para kritikus yang hidup semasa atau mendekati
masa Abdul Qahir al-Jurjani. Sumber dari perspektif kritikus dan peneliti modern
juga mejadi rujukan untuk mencapai pembacaan yang lebih mendalam dan
komprehensif terhadap pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani.
Hasil
dan Pembahasan
Teori
Naẓm Sebagai Cikal Bakal Ilmu Ma’ani
Sebelum
ilmu balaghah menjadi disiplin keilmuan yang pakem berdasarkan rumusan al-Sakaki
(w. 626 H.) dalam Miftāḥ al-‘Ulūm, benih-benih teori balaghah sebagai
bagian keilmuan bahasa Arab dan Al-Qur’an sudah banyak dibahas dan disinggung
di dalam buku-buku i’jāz, naqd dan adab yang ditulis oleh
para pendahulunya seperti Abu Ubaidah, al-Jahidz, Qudamah, al-Zamakhsyari, dan
lain sebagainya. Pembahasan itu sampai pada puncak kematangannya di tangan
Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H.) yang kemudian dipakemkan oleh al-Sakaki
tersebut.
Abdul
Qahir al-Jurjani terkenal dengan teori naẓm (naẓarīyah al-naẓm)
yang bisa diterjemahkan dengan teori struktur. Namun jangan mengira teori ini
sama dengan teori strukturalisme dalam linguistik modern sebagaimana yang
diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure. Tentu keduanya merupakan hal yang
berbeda. Teori naẓm (untuk selanjutnya menggunakan redaksi “naẓm”
dari pada terjemahannya) ini merupakan cikal bakal ilmu balaghah, khususnya
ilmu ma’ani.
Di
dalam Dalāil al-I’jāz, al-Jurjani membahas kajian yang saat ini termasuk
dalam lingkup ilmu ma’ani, meski secara nomenklatur ia tidak spesifik
menyebutnya dengan istilah “ilmu ma’ani”. Di dalam buku itu, al-Jurjani hanya
menggunakan istilah al-bayān dan al-naẓm, dan terkadang
menggunakan al-faṣāḥah dan al-balāgah. Artinya, belum ada
nomenklatur yang pakem untuk sesuatu yang menjadi pembahasan al-Jurjani di
dalam Dalāil al-I’jāz tersebut. Dari sekian istilah yang digunakan oleh
al-Jurjani, istilah naẓm-lah yang kemudian melekat kepadanya dan
diasosiasikan sebagai suatu teori yang identik dengan pemikirannya (Darwisy
& Jadwa, 2010: 49).
Meski
al-Jurjani telah mematangkan kajian teori naẓm tanpa menyebutnya sebagai
“ilmu ma’ani”, namun pada perkembangan berikutnya, al-Zamakhsyari (w. 538 H.)
disebut sebagai tokoh pertama yang memberikan nomenklatur kepada kajian
al-Jurjani tersebut dengan nama ilmu ma’ani. Al-Zamakhsyari adalah salah satu
tokoh Muktazilah yang gemar membaca al-Jurjani, meski keduanya berbeda dalam
teologi. Ia mengikuti kajian-kajian pendahulunya tersebut, dan menghabiskan
semua pembahasan yang ada di dalam Dalāil al-I’jāz dan Asrār
al-Balāgah. Bahkan al-Zamakhsyari menganggap bahwa kajian-kajian al-Jurjani
butuh penjelasan dan penjabaran lebih lanjut. Ia juga berpandangan bahwa
teori-teori al-Jurjani perlu diterapkan dalam menganalisis teks. Alhasil, ia
pun menerapkan teori-teori itu kepada teks Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai
landasan teoretis atas karya tafsirnya yang berjudul al-Kasysyāf
(Darwisy & Jadwa, 2010: 50).
Di
jurjam mukadimah tafsirnya, al-Zamakhsyari (1407: 1-2) menyatakan bahwa sebelum
memulai mendalami makna-makna Al-Qur’an, seseorang perlu memahami secara
mendalam dua ilmu penting, yaitu ilmu ma’ani dan ilmu bayan:
"ولا يغوص على شيء من تلك الحقائق إلا رجل قد برع في علمين
مختصين بالقرآن، وهما علم المعاني وعلم البيان وتمهل في ارتيادهما آونة، وتعب في
التنقير عنهما أزمنة، وبعثته على تتبع مظانهما همة في معرفة لطائف حجة اللَّه."
Pernyataan
itulah yang kemudian ditengarai sebagai kali pertama istilah ilmu ma’ani
disebutkan sepanjang sejarah ilmu balaghah untuk menunjukkan salah satu cabang
kajian ilmu balaghah sebagaimana yang dikenal hingga saat ini.
Dari
situ, Ahmad Darwisy kemudian menyimpulkan bahwa istilah ilmu ma’ani dicetuskan
pertama kali oleh al-Zamakhsyari, dipakemkan oleh al-Sakaki, dan sebelumnya
sudah dibahas secara matang oleh al-Jurjani melalui teori naẓm (Darwisy
& Jadwa, 2010: 51).
Al-Sakaki
(1987: 161) mendefinisi ilmu ma’ani dengan narasi berikut:
"اعلم أن علم المعاني هو تتبع خواص تراكيب الكلام في الإفادة
وما يتصل بها من الاستحسان وغيره، ليحترز بالوقوف عليها عن الخطأ في تطبيق الكلام
على ما يقتضي الحال ذكره."
“Ketahuilah, ilmu Ma’ani adalah (kajian) tentang inti/spesifik struktur kalam untuk menghasilkan faedah dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, baik untuk memperindah kalam atau untuk tujuan lain, agar dapat terhindar dari kesalahan dalam menyesuaikan suatu ungkapan dengan kehendak situasi (muqtaḍā al-ḥāl) di mana ungkapan itu disampaikan.”
Definisi
ini mempertegas bahwa kajian ilmu ma’ani yang dimaksud oleh al-Sakaki serujuk
dengan istilah ilmu ma’ani yang pernah disebutkan oleh al-Zamakhsyari. Definisi
ini, menurut Ahmad Darwisy, menjadi landasan teoretis dalam perjalanan kajian
ilmu balaghah hingga saat ini (Darwisy & Jadwa, 2010: 51).
Namun
mirisnya, rumusan ilmu balaghah al-Sakaki di dalam Miftāḥ al-‘Ulūm ini dipandang
sebagai titik mula kejumudan ilmu balaghah. Segala perkembangan kajian ilmu balaghah
pasca al-Sakaki sebatas pengulangan, peringkasan dan penjabaran atas apa yang
sudah dipakemkan di dalam Miftāḥ al-‘Ulūm. Selain itu, rumusan ilmu balaghah
al-Sakaki tersebut juga dipandang jauh dari nilai dan rasa susastra (al-taẓawwuq
al-adabī) sebagaimana pada kajian-kajian al-Jurjani dan al-Zamakhsyari. Hal
itu lantaran al-Sakaki terfokus pada rumusan kaidah-kaidah, aturan-aturan dan
pembagian-pembagian yang kaku, yang menjadikan karya sastra harus tunduk pada
level kedua di bawah kaidah-kaidah tersebut (Zayid, 1982: 141; Ammar, 2016: 36).
Sekilas
Tentang Abdul Qahir al-Jurjani
Di
dalam pembahasan tentang balaghah dan i’jāz Al-Qur’an, ada dua tokoh terkemuka
yang sama-sama bernisbah kepada Jurjan, yaitu Abdul Qahir al-Jurjani dan al-Qadli
al-Jurjani: yang kedua lebih senior dari yang pertama. Abdul Qahir al-Jurjani
memiliki nama asli Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdurrahman al-Jurjani, berasal
dari Persia, tepatnya kelahiran Jurjan (Gorgan), sekarang bagian dari negara
Iran. Abdul Qahir al-Jurjani wafat pada 471 H. Pendapat yang lain mengatakan
wafat pada 474 H (al-Dzahabi, 2006: 13/505).
Mengenai
tahun kelahirannya, beberapa sumber menyebutkan pada 400 H., namun Ahmad
Mathlub hanya menyebutkan bahwa ia lahir pada permulaan (maṭla’) abad
ke-5 Hijriyah (Mathlub, 1973: 11).
Adapun
al-Qadli al-Jurjani dikenal dengan Abu al-Hasan al-Jurjani dan memiliki nama
asli Ali bin Abdul Aziz al-Jurjani. Al-Qadli al-Jurjani juga berasal dari
Jurjan. Wafat pada 392 H. (Qalqailah, 1981: 214), ada pula yang mengatakan
wafat pada 396 H., bahkan ada yang menyebutkan 366 H (al-Dzahabi, 2006: 12/495).
Beberapa sumber online menyebutkan bahwa ia lahir pada tahun 322 H.,
namun di sini penulis belum bisa menelusuri sumber yang lebih kuat dari
buku-buku biografi klasik.
Abduh
Abdul Aziz mengutip Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Udabā’ bahwa Abdul
Qahir al-Jurjani berguru (qara’a ‘alā) kepada al-Qadli al-Jurjani.
Menurutnya, redaksi qara’a ‘alā yang digunakan oleh al-Hamawi menandakan
adanya pertemuan secara langsung dalam satu zaman (al-Hamawi, 1993: 4/1797).
Namun pandangan ini dinilai lemah dan dianggap tidak berdasar pada keterangan
yang kuat. Pandangan yang kuat mengatakan bahwa keduanya tidak pernah hidup
sezaman. Setidaknya ada tiga alasan: (1) rentang tahun kewafatan keduanya yang
jauh sehingga tidak dimungkinkan adanya pertemuan keduanya, selain juga
beberapa sumber menunjukkan tahun wafat al-Qadli 392 H. sedangkan tahun lahir
Abdul Qahir 400 H. (2) Di dalam mayoritas sumber yang lain, menurut Abduh Abdul
Aziz, tidak ada yang menggunakan redaksi qara’a ‘alā. Yang menggunakan
redaksi itu hanya al-Hamawi di dalam Mu’jam al-Udabā’-nya tersebut. (3) Di
dalam biografi Abdul Qahir sendiri tertulis bahwa ia hanya memiliki satu guru,
yaitu Abu al-Hasan Muhammad bin al-Husain, keponakan Abi Ali al-Farisi, dan
tidak disebutkan nama al-Qadli al-Jurjani (Qalqailah, 1981:214).
Meski
kedunya tidak pernah bertemu dalam satu zaman, namun Abdul Qahir al-Jurjani
banyak mendapatkan inspirasi dari al-Qadli al-Jurjani. Abdul Qahir mengakses
karya-karya al-Qadli dan mempelajarinya. Ia seringkali merujuk kepada pemikiran
al-Qadli di dalam dua karyanya Dalāil al-I’jāz dan Asrār al-Balāgah (Qalqailah,
1981:215). Namun artikel ini hanya akan fokus kepada Abdul Qahir al-Jurjani
sebagai tokoh yang dikenal pemilik teori naẓm. Jadi, ketika di dalam
artikel ini hanya menyebutkan “al-Jurjani”, maka yang di maksud adalah Abdul
Qahir al-Jurjani.
Abdul
Qahir al-Jurjani seorang ulama produktif dalam bidang bahasa, balaghah dan i’jāz
Al-Qur’an. Dalam bidang akidah, ia pengikut Imam al-Asy’ari, sedangkan
dalam bidang fikih, ia pengikut Imam Syafi’i. Al-Silafi, sebagaimana dikutip
oleh al-Dzahabi mengatakan bahwa Abdul Qahir adalah sosok yang warak dan kanaah
(al-Dzahabi, 2006: 13/505).
Dalam
dialektika balaghah Al-Qur’an di kalangan ulama pada zamannya, seringkali latar
belakang mazhab teologis yang dianut oleh seseorang berpengaruh kepada corak, cara
pandang dan berpikirnya dalam berbagai permasalahan, termasuk di dalam
pemasalahan i’jāz. Pada rentang masa Abdul Qahir, sebelum dan sesudahnya,
ada setidaknya dua mazhab teologis yang berkembang, Muktazilah dan Asy’ariyah.
Dua aliran ini banyak dianut oleh para ulama yang bersentuhan dengan i’jāz
Al-Qur’an (Jabal, 2011: 89). Sebut saja di antara tokoh yang saling
mempengaruhi dari kalangan Muktazilah adalah al-Jahidz, al-Nadzdzam, al-Qadli
Abdul Jabbar dan al-Zamakhsyari, sedangkan dari kalangan Asy’ariyah, di
antaranya adalah Abu Bakar al-Baqillani dan Abdul Qahir al-Jurjani. Dimensi teologis
ini sebenarnya sempat mewarnai perdebatan perihal i’jāz Al-Qur’an.
Perdebaatan itu berputar dari permasalahan titik kemukjizatan Al-Qur’an hingga
pada dualisme lafaz dan makna (Dersevi, 2023: 767).
*Tulisan ini terpublikasi di Jurnal Uktub Vol. 4 No. 1 (2024)
