Gambaran Psikologis Orang-Orang Munafik: QS Al-Baqarah 17

Table of Contents

 

Salah satu kekuatan Al-Qur’an dalam memberikan dampak emosional kepada pembacanya adalah melalui pendekatan komunikasi efektif menggunakan gaya bahasa imagery (taṣwīr fannī) dalam menjelaskan sesuatu yang bersifat abstrak. Taṣwīr fannī berarti penggambaran artistik dalam Al-Qur’an—yakni cara Al-Qur’an menyampaikan makna dengan citra visual, suasana, dan emosi, bukan hanya dengan pernyataan logis. Sayyid Qutb menekankan bahwa Al-Qur’an membentuk adegan-adegan hidup yang menggugah indera dan perasaan.

Dalam rangkaian surah al-Baqarah ayat 8 sampai dengan ayat 16, Allah membahas orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang menampakkan keimanan, namun sejatinya mereka ingkar.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (11) أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ (12) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ (13) وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (14) اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (16).

Dalam rangkaian ayat di atas, disebutkan bahwa orang-orang munafik adalah mereka yang mengaku beriman, namun sebenarnya mereka ingkar; mengaku membawa maslahat, tapi sejatinya merusak. Orang-orang munafik seperti ini sulit disadarkan, karena secara psikologis mereka selalu merasa benar dan enggan menyadari bahwa dirinya berada dalam kesesatan. Orang-orang munafik seperti ini memiliki masalah pada kejiwaannya; penyakit bercokol di dalam hatinya; semakin hari semakin bertambah penyakitnya. Allah menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang menukar hidayah (petunjuk) dengan ḍalālah (kesesatan). Mereka kehilangan petunjuk dan terjatuh dalam kesesatan. Petunjuk yang semula dimiliki oleh setiap manusia berupa kesediaan untuk menerima kebenaran dan mencapai kesempurnaan. Kesediaan ini adalah modal pokok. Modal inilah yang lenyap dari tangan orang-orang munafik. Mereka tidak akan mendapatkan apapun kecuali terjerumus pada kesesatan yang semakin dalam.

Ada hal menarik pada ayat berikutnya, yaitu al-Baqarah 17:

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ (17)

Perumpamaan orang-orang munafik yang meninggalkan petunjuk dan menukarnya dengan kesesatan seperti orang yang menyalakan api (agar menghasilkan cahaya), ketika api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya itu dan membiarkan mereka dalam kegelapan, mereka tidak dapat melihat.

Istilah “petunjuk” dan “kesesatan” yang berada pada pembahasan orang-orang munafik di atas merupakan sesuatu yang abstrak yang kemudian digambarkan menggunakan ilustrasi yang bersifat indrawi.

Seseorang berada dalam kegelapan total, lalu ia menyalakan api. Kemudian terang menyelimuti sekelilingnya. Namun, cahaya itu seketika padam. Ada efek kejut dari yang semula terang kemudian gelap secara tiba-tiba.

Gambaran visual ini menciptakan kontras tajam antara cahaya dan gelap, antara harapan dan keputusasaan. Penggambaran di sini menghidupkan perasaan gugup, cemas, dan kehilangan arah ketika cahaya yang tadinya memberi rasa aman, tiba-tiba menghilang seketika.

Api dan cahaya merupakan simbol hidayah, pengetahuan, dan kebenaran. Orang munafik menyalakan api, artinya mereka awalnya mengaku beriman atau setidaknya terlibat dalam komunitas Islam. Namun, nur (cahaya) itu dicabut oleh Allah, karena mereka tidak benar-benar jujur dalam keimanan mereka. Yang tersisa hanyalah kegelapan: kebingungan, kesesatan, dan kekosongan spiritual.

Melalui penggambaran ini, kita dapat merasakan efek psikologis keadaan emosi orang-orang munafik. Mereka merasa seolah berada dalam keamanan, lalu tiba-tiba dicabut dari rasa aman itu. Sama halnya seperti kita berjalan pada malam hari yang gelap menggunakan lampur senter, dan secara tiba-tiba lampu senter itu mati karena ada kerusakan. Efek kejut ini memberikan perasaan yang lebih ‘menakutkan’ dari pada jika sejak awal memang tidak ada sumber cahaya sama sekali. Hal ini sama seperti kita hidup bahagia bersama orang yang kita sayang, tiba-tiba tanpa disangka orang yang kita sayang itu pergi meninggalkan kita. Tentu sakitnya lebih terasa.

Begitulah Al-Qur’an menciptakan efek psikologis melalui keajaiban redaksinya. Menyampaikan makna dengan citra visual. Membangun suasana, dan emosi yang dapat dirasakan oleh pembacanya.