Dualisme Lafaz dan Makna: Perdebatannya di Kalangan Ulama I’jāz dan Kritikus Arab Klasik (3/3)

Table of Contents


Tanggapan Abdul Qahir al-Jurjani
Abdul Qahir al-Jurjani adalah ulama yang dikenal sebagai pemilik teori naẓm yang menjadi cikal bakal keilmuan balaghah. Abdul Qahir al-Jurjani terlahir di tengah-tengah perdebatan para ulama dan kritikus tentang konsep lafaz dan makna. Pandangan-pandangan tentang dualisme lafaz dan makna yang berkembang saat itu membuat al-Jurjani merasa khawatir dan prihatin terhadap keilmuan balaghah dan i’jāz Al-Qur’an jika harus didasari oleh fanatisme dalam memandang lafaz dan makna. Adanya dualisme lafaz dan makna tersebut sebagai konsekuensi dari dua kubu yang saling berseberangan secara fanatis, yang kemudian disebut dengan aṣḥāb al-lafẓ dan aṣḥāb al-ma’nā.

Abdul Qahir al-Jurjani berpandangan bahwa keindahan dalam suatu ‘ibārah terletak pada bagusnya susunan kata dalam menyampaikan makna, atau yang disebut dengan naẓm. Al-Jurjani berkata: “Hendaklah engkau mendatangkan makna dari sudut pandang yang paling tepat untuk disampaikan, lalu engkau memilih lafaz yang paling spesifik dan paling jelas untuk mengungkapkan makna tersebut dengan lengkap dan akurat, serta menunjukkan kepada keistimewaan (makna)-nya.” (al-Jurjani, 1992: 43).

Dalam pernyataan itu, al-Jurjani menyinggung adanya peran lafaz. Bahwa lafaz baginya tidak memiliki keutamaan apapun secara mandiri, kecuali setelah disusun dalam sebuah struktur. Konsep lafaz menurut al-Jurjani bukan lafaz yang berdiri sendiri dalam satuan secara mandiri, melainkan lafaz yang disusun dengan lafaz lain untuk menghasilkan makna yang spesifik sesuai makna yang diinginkan (ma’nā nafsī).

Dari sini dapat dilihat bahwa al-Jurjani membantah pandangan yang mengunggulkan lafaz hanya berdasar pada bentuknya. Dengan terang-terangan ia berkata: “Orang yang mengunggulkan lafaz hanya berdasarkan lafaz itu sendiri seperti orang yang menghapus sesuatu dari posisinya dan menyimpang dari sifatnya. Hal itu membuka pintu cacat dan menampakkan kekurangan.” (al-Jurjani, 1995: 43).

Di bagian yang lain, al-Jurjani tidak menampik adanya keunggulan lafaz, namun pengakuannya terhadap beberapa keunggulan lafaz dalam mencapai keindahan tidak dapat dijadikan dasar penilai utama: "Kami tidak menolak bahwa huruf yang ‘renyah’ dan tidak memberatkan lisan masuk dalam hal yang menambah keutamaan, serta dapat memperkuat i’jāz. Akan tetapi, apa yang kami tolak adalah ketika menjadikannya sebagai satu-satunya aspek i’jāz dan sebagai sesuatu yang paling pokok dan mendasar." (al-Jurjani, 1992: 522).

Keunggulan bukanlah milik lafaz secara terpisah. Seandainya demikian, maka beberapa lafaz akan selalu baik atau selalu tidak baik. Al-Jurjani berkata: "Seandainya lafaz itu bagus hanya karena bentuknya dan layak mendapat keutamaan dan kehormatan karena itu sendiri, tanpa memperhatikan keterhubungannya dengan lafaz lain dalam susunan, maka keadaan lafaz tidak akan bervariasi, dan lafaz tersebut akan selalu baik atau selalu tidak baik." (al-Jurjani, 1992: 48). Seandainya keunggulan hanya terletak pada lafaz itu sendiri, maka tidak akan ada perkataan yang lebih baik dari perkataan yang lain. Al-Jurjani berpendapat bahwa lafaz tunggal tidak memiliki nilai sebelum dimasukkan dalam struktur kalimat dan sebelum mencapai bentuk yang memberikan makna yang dimaksudkan secara rinci dan spesifik.

Dalam hal susunan lafaz, menurut al-Jurjani, seorang penyusun harus mengikuti jejak makna, mengaturnya sesuai dengan urutan makna dalam pikiran (ma’ānī fī al-nafs). Oleh karena itu, susunan itu mempertimbangkan keadaan satu lafaz dengan lafaz lainnya, bukan sekadar menggabungkan lafaz dengan lafaz tanpa pertimbangan (al-Jurjani, 1992: 49). Jika seorang penyair ingin membuat sebuah kalam, ia harus memikirkan makna-maknanya, dan memilih lafaz-lafaz yang mampu mengungkapkan makna itu. Pemilihan lafaz, penyusunannya, dan penampilannya dalam bentuk tertentu serta dalam ritme khusus harus sesuai dengan makna yang ingin ditunjukkan oleh penciptanya. Dengan demikian, lafaz mengikuti makna dalam susunan. Lafaz diatur dalam ucapan sesuai dengan urutan makna dalam pikiran.

Meski al-Jurjani membantah anṣār al-lafẓ dengan keras, namun bukan berarti ia termasuk anṣār al-ma’nā. Dalam hal ini al-Jurjani tidak pada dua-duanya. Ia membantah bahwa makna tidak memiliki keutamaan apa-apa dan tidak layak untuk diutamakan sekalipun makna tersebut berupa hikmah dan pelajaran yang tinggi, atau berupa perumpamaan (tasybīh) yang menakjubkan. Makna tidak akan bernilai apa-apa tanpa dibentuk dan dirangkai menggunakan lafaz (Dahman, 2000: 1/201; Khalifah, 2015: 159). Makna tersebut akan terkuak keindahannya melalui susunan dan rangkaian lafaz yang spesifik.

Teori naẓm yang ditawarkan oleh al-Jurjani ini sebenarnya secara otomatis menggambarkan posisinya dalam perdebatan tentang dualisme lafaz dan makna. Al-Jurjani tidak pada posisi anṣār al-lafẓ sekaligus juga tidak pada posisi anṣār al-ma’nā. Ia bahkan membantah dua kubu yang saling bertentangan tersebut.

Kesimpulan
Pembahasan tentang dualisme lafaz dan makna dalam konteks kritik sastra Arab klasik bermula dari pertanyaan mengenai aspek kemukjizatan Al-Qur’an. Jika kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada bahasa dan sastranya, lalu pada bagian apa titik yang membedakan Al-Qur’an dengan karya-karya manusia? Apakah pada maknanya, ataukah pada lafaznya? Dari pertanyaan pemantik itu kemudian para kritikus membahasnya dengan berbagai argumentasinya. Termasuk argumentasi-argumentasi yang bersifat teologis yang melibatkan setidaknya dua mazhab, Muktazilah dan Asy’ariyah. Pembahasan ini kemudian meluas tidak hanya berkaitan dengan persoalan aspek kemukjizatan Al-Qur’an, namun juga pada aspek keindahan kalam pada teks sastra secara umum.

Ada setidaknya tiga kelompok yang saling beradu argumentasi. Mereka adalah pembela lafaz (anṣār al-lafẓ), pembela makna (anṣār al-ma’nā), dan kelompok yang menentang keduanya. Kelompok yang membela lafaz mengatakan bahwa titik keindahan suatu kalam itu terletak pada lafaz yang lugas, pemilihannya yang tepat, artikulasi yang baik, kesesuaian dengan wazan, irama yang indah, dan bentuk yang bagus. Mereka berargumentasi bahwa sebaik apapun suatu makna tidak akan memiliki keistimewaan apa-apa jika tanpa diungkapkan menggunakan bentuk lafaz yang indah. Mereka memandang bahwa pada dasarnya ranah yang membentuk suatu kalam atau ungkapan menjadi puisi atau prosa adalah ranah lafaz, bukan ranah makna. Selain itu, kecenderungan kelompok ini untuk membela lafaz tampak pada deskripsi-deskripsi mereka tentang keindahan suatu kalam yang lebih banyak memberikan porsi kepada aspek lafaz, bukan makna.

Berbeda dengan anṣār al-lafẓ, pembela makna mengatakan bahwa makna harus dijadikan kriteria pertama yang diutamakan meskipun tidak juga menganulir adanya peran lafaz. Jika suatu kalam memiliki makna yang bagus, maka kalam tersebut tak dapat dibilang jelek sekalipun tersusun menggunakan lafaz yang lemah. Bagi mereka, makna-lah yang membuat -misalnya- Umru al-Qais menjadi penyair unggul pada masanya. Jika bukan karena puisi-puisinya memiliki makna yang halus, niscaya Umru al-Qais sama seperti penyair-penyair lain pada zamannya. Di antara kelompok ini juga ada yang mengatakan bahwa proses kreatif seorang penyair di dalam menciptakan puisi dengan diksi dan pilihan lafaz yang terbaik tidak lain karena demi mencapai makna yang indah.

Dari dua kelompok yang berseberangan tersebut, muncul kelompok yang berusaha memandang persoalan lafaz dan makna tanpa harus memisahkan keduanya, dan tanpa pula harus mendahulukan atau menganulir salah satunya. Kelompok ini memandang bahwa sebuah kalam dinilai baik dan indah apabila memiliki lafaz dan makna yang bagus secara bersamaan. Jika ada suatu kalam yang secara bangunan memiliki bentuk yang indah, bermetrum dan bersajak, namun tidak mampu menggambarkan makna secara identik sehingga makna yang dihasilkan tidak bagus, maka kalam itu tidaklah pantas disebut kalam yang bagus. Begitu pula sebaliknya.

Dalam perdebatan ini, Abdul Qahir al-Jurjani memiliki pandangan yang berbeda. Dalam Dalāil al-I’jāz, ia memang membantah keras aṣḥāb al-lafẓ, namun ia juga bukan termasuk aṣḥāb al-ma’nā. Posisinya tidak pada dua-duanya. Al-Jurjani berpendapat bahwa lafaz tunggal tidak memiliki nilai apapun sebelum digabungkan dengan lafaz yang lain dalam sebuah struktur atau tarkīb. Perangkaian lafaz-lafaz hingga menjadi susunan harus mengikuti jejak makna; mengaturnya dengan mengacu kepada urutan makna yang diinginkan di dalam pikiran (ma’ānī fī al-nafs). Pandangan ini kemudian dikenal dengan teori naẓm.
 

Daftar Pustaka
  • Abbas Fadl Hasan. I’jāz al-Qur’ān al-Majīd. Yordania: Dār al-Nafāis. 2016.
  • Al-Amadi, Abu al-Qasim. Al-Muwāzanah Baina Abī Tamām wa al-Buḥturī. Bairut: Dār al-Ma’ārif. 1994.
  • Al-Askari, Abu Hilal. Al-Ṣinā’atain. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī. 1971.
  • Al-Baqillani, Bakar Al-Baqillani. Al-Inṣāf fī mā Yajibu I’tiqāduhū wa mā lā Yajūzu al-Jahl bihī. Kairo: Dār al-Kutub al-Malakīyah al-Miṣrīyah. 1950.
  • Al-Ghautsani, Yahya. Rasyafāt min Raḥīq al-Bayān al-Qur’ānī. Istanbul: Dār al-Gauṡānī. 2019.
  • Al-Jahidz. Al-Bayān wa al-Tabyīn. Bairut: Dār wa Maktabah al-Hilāl. 1423 H.
  • Al-Jahidz. Al-Ḥayawān. Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah. 1424 H.
  • Al-Jurjani, Abdul Qahir. Asrār al-Balāgah. Kairo: Maṭba’ah al-Madanī. 1995.
  • Al-Jurjani, Abdul Qahir. Dalāil al-I’jāz. Kairo: Maṭba’ah al-Madanī. 1992.
  • Al-Khairuni, Halimah. “Al-Lugah al-Arabīyah baina al-Laḥn wa al-Taqwīm ilā Ḥudūd al-Qarn al-Rābi’ al-Hijrī”, Majallah al-Baḥṡīyah. Vol 9, No 10. 2018.
  • Al-Rummani. Al-Nakt fī I’jāz al-Qur’ān. Mesir: Dār al-Ma’ārif. 1976.
  • Al-Thanthawi, Muhammad. Nasy’ah al-Naḥw wa Tārīkh Asyhur al-Nuḥāt. Kairo: Dār al-Ma’ārif. 2005.
  • Arafah, Abdul Aziz. Qaḍīyah al-I’jāz al-Qur’ānī wa Aṡaruhā fī Tadwīn al-Balāgah al-Arabīyah. Bairut: Ālam al-Kutub. 1985.
  • Bintussyathi’, Aisyah Abdurrahman. Al-I’jāz al-Bayānī li Al-Qur’ān wa Masāil Ibn al-Azraq. Kairo: Dār al-Ma’ārif. 2018.
  • Dahman, Ahmad Ali. Al-Ṣūrah al-Balāgīyah inda Abd al-Qāhir al-Jurjānī Manhajā wa Taṭbīqā. Damaskus: Dār Ṭallās. 2000.
  • Dahmani, Hamzah. “Ṡunāiyah al-Lafẓ wa al-Ma’nā fī Kitāb al-Ṣinā’atain li Abī Hilāl al-Askarī”, Majallah Qirā-āt li al-Buḥūṡ wa al-Dirāsāt al-Adabīyah wa al-Naqdīyah wa al-Lugawīyah. Vol 3. 2013.
  • Dersevi, Salih. “The Role Dialectical Pronunciation and Meaning in the Emergence of Systems Theory”, Ihya International Journal of Islamic Studies. Vol 9, No 2. 2023.
  • Dlaif, Syauqi. Al-Balāgah Taṭawwur wa Tārīkh. Kairo: Dār al-Ma’ārif. 1995.
  • Jam’i, Al-Akhdlar. Al-Lafẓ wa al-Ma’nā fī al-Tafkīr al-Naqdī wa al-Balāgī ‘inda al-Arab. Damaskus: Min Mansyūrāt Ittiḥād al-Kuttāb al-Arab. 2001.
  • Jinni, Ibnu. Al-Khaṣāiṣ. Mesir: Hai’ah al-Miṣrīyah al-Āmmah li al-Kitāb. 1431 H.
  • Jnaidi, Omar Adeeb Shaker. “Salīqah al-Arabī fī al-Aṣr al-Jāhilī”, Şarkiyat Mecmuası- Journal of Oriental Studies. Vol 42. 2023.
  • Khaldun, Ibnu Khaldun. Tārīkh Ibnu Khaldūn. Bairut: Dār al-Fikr. 1988.
  • Khalifah, Abbud. “Qaḍīyah al-Lafẓ wa al-Ma’nā fī al-Mīzān al-Jurjānī”, Majallah Ḥaulīyāt. Vol 15, No 15. 2015.
  • Lakehal, Hocine. “Ṡunāiyah al-Lafẓ wa al-Ma’nā Inda Abī Hilāl al-Askarī”, Majallah al-Mi’yār. Vol 27, No 4. 2023.
  • Muslim, Musthafa. Mabāḥiṡ fī I’jāz al-Qur’ān. Kairo: Maṭba’ah al-Madanī. 2005.
  • Razayqiyah, Mahmud. “Qaḍīyah al-Lafẓ wa al-Ma’nā ‘inda al-Jāḥiẓ: Qirā’ah fī Ruā al-Nuqqād al-Muḥdaṡīn”, Majallah Isykālāt fī al-Lugah wa al-Adab. Vol. 8, No. 2. 2019.