Dualisme Lafaz dan Makna: Perdebatannya di Kalangan Ulama I’jāz dan Kritikus Arab Klasik (2/3)
Table of Contents
Hasil dan Pembahasan
Pembahasan mengenai dualisme lafaz dan makna sebenarnya telah menjadi topik perdebatan yang melibatkan berbagai dimensi, termasuk bahasa, sastra, filsafat, dan teologi. Di kalangan kritikus Arab, isu ini terus menjadi perbincangan serius dari satu generasi ke generasi berikutnya. Terlebih ketika pembahasan ini masuk dalam terminologi kemukjizatan Al-Qur’an yang tentu memiliki hubungan erat dengan berbagai mazhab teologis yang muncul sejak awal abad Hijriyah.
Dimensi Teologis
Pembahasan dan penelusuran lebih mendalam terhadap aspek i’jāz bayānī bermula dari adanya penolakan terhadap pendapat salah satu tokoh Muktazilah bernama Ibrahim bin Sayyar al-Nadzdzam (w. 221 H.) yang berpandangan bahwa ketidakberdayaan orang-orang Arab di hadapan Al-Qur’an untuk mendatangkan sesuatu yang setara dengannya adalah karena faktor ṣarfah (Abbas, 2016: 27). Yaitu adanya campur tangan Allah yang sengaja membuat orang-orang Arab tak memiliki motivasi untuk melawan Al-Qur’an, bukan karena kehebatan Al-Qur’an itu sendiri dari sisi bahasanya. Pendapat ini memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya orang-orang Arab mampu menciptakan karya yang dapat menyamai Al-Qur’an, hanya saja Allah memalingkan kemampuan tersebut atau menghilangkan motivasi mereka untuk menandinginya.
Pandangan tentang ṣarfah ini dinilai terpengaruh oleh paham-paham asing seperti filsafat yang berkembang pada masa Abbasiyah beriringan dengan gerakan penerjemahan (Muslim, 2005: 59; Dersevi, 2023: 766). Paham ini memandang bahwa Al-Qur’an sama seperti karya-karya orang Arab pada umumnya. Bahasa Al-Qur’an tidak lebih tinggi dari syair-syair dan prosa-prosa yang diciptakan oleh para penyair Arab. Al-Qur’an menjadi tak tertandingi karena Allah yang berkuasa membuat para penyair kehilangan kemampuannya di hadapan Al-Qur’an atau kehilangan motivasi untuk menandinginya. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama balaghah yang mengatakan bahwa bahasa Al-Qur’an mengungguli karya manusia, dan manusia tak mampu menandinginya lantaran bahasa Al-Qur’an memiliki keunggulan yang tak dapat ditiru atau dilampaui oleh semua kalangan baik jin dan manusia.
Namun demikian, pandangan tentang konsep ṣarfah seperti ini tidak sepenuhnya mewakili Muktazilah. Pasalnya, al-Jahidz (w. 255 H.) yang juga tokoh penting di kalangan Muktazilah memiliki pandangan yang berbeda dengan pendahulunya tersebut. Ia memang berpandangan bahwa aspek kemukjizatan salah satunya adalah ṣarfah. Namun baginya, ṣarfah diposisikan sebagai yang kedua setelah aspek kebahasaan atau balaghah (Abbas, 2016: 28-29). Ṣarfah dalam pandangan al-Jahidz adalah ketidakmampuan orang Arab pada masa Rasulullah untuk menandingi Al-Qur’an lantaran mereka menyadari bahwa Al-Qur’an memiliki nilai bahasa yang tinggi dan unggul, susunan dan struktur (nazm) yang indah, serta penyajian (ta’līf) yang berbeda dengan karya-karya Arab pada umumnya, sehingga mereka tidak memiliki motivasi dan hasrat untuk menandingi kehebatan Al-Qur’an. Bukan semata karena Allah yang mencegah dan memalingkannya (ṣarf) seperti yang dikatakan oleh pendahulunya. Jikapun ṣarfah itu tidak ada, dan orang-orang Arab memiliki hasrat dan motivasi untuk menandingi Al-Qur’an, bagi al-Jahidz, mereka tetap tidak akan mampu sampai kepada ketinggian bahasa Al-Qur’an (al-Ghautsani, 2019: 132). Pada titik ini, sangat jelas bahwa al-Jahidz berbeda pandangan dengan al-Nadzdzam tentang konsep ṣarfah.
Pasca perdebatan tentang konsep ṣarfah dan para ulama balaghah mulai meyakinkan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an ada pada aspek bahasanya yang unggul, muncul kembali perdebatan yang lebih tajam, yaitu perdebatan tentang lafaz dan makna. Mana di antara keduanya yang menjadi aspek kemujizatan dan dianggap sebagai titik faṣāḥah dan balāgah. Apakah ada pada lafaznya, atau maknanya, atau pada dua-duanya.
Pembahasan tentang terminologi lafaz dan makna ini meruncing di kalangan para mutakallim dari Muktazilah dan Asy’ariyah. Para mutakallim dari kalangan Asy’ariyah seperti al-Baqillani (w. 403 H.) lebih cenderung mengutamakan makna dari pada lafaz, sementara mutakallim dari kalangan Muktazilah cenderung lebih mengutamakan lafaz.
Kalangan Asy’ariyah meyakini bahwa kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada makna dan gabungan antar makna sehingga menjadi sebuah struktur (nazm) dan terverifikasi dalam sebuah susunan penyajian (ta’līf) yang khas. Pandangan ini dijelaskan oleh al-Baqillani -sebagaimana dikutip oleh Dersevi (2023: 766)- ketika mengulas tentang asrār al-i’jāz di dalam karyanya I’jāz Al-Qur’ān. Baginya, Kalām Allah adalah al-kalām al-nafsī al-qadīm yang tak dapat disifati dengan (sifat-sifat) makhluk namun memiliki penanda (‘alāmāt) yang menunjukkan kepadanya berupa lafaz-lafaz yang dapat diucapkan oleh lisan atau bunyi-bunyi yang terstruktur dengan baik.
Dalam memandang aspek kemukjizatan bahasa Al-Qur’an berkaitan dengan terminologi lafaz dan makna, kalangan Asy’ariyah berangkat dari keyakinannya bahwa Al-Qur’an adalah al-kalām al-nafsī al-qadīm. Hal itu yang menjadikan Asy’ariyah lebih cenderung mengutamakan makna dari pada lafaz. Bagi mereka, lafaz hanya penanda bagi makna. Lafaz hanya perantara (khadām) untuk sampai kepada makna. Dan keistimewaan suatu susunan (nazm) bisa terwujud manakala lafaz-lafaz itu tersusun menyesuaikan urutan makna yang dimaksud atau dikehendaki (al-Baqillani, 1950: 94).
Pandangan ini pada dasarnya merupakan tanggapan atas pandangan Muktazilah yang lebih mendahulukan lafaz dari pada makna. Kalangan Muktazilah mendahulukan lafaz karena berangkat dari keyakinannya bahwa Al-Qur’an bukanlah kalām nafsī. Al-Qur’an hanya suara-suara, kata-kata yang diciptakan (makhluk).
Al-Jahidz yang menjadi bagian penting di kalangan Muktazilah dan meyakini adanya ṣarfah meski berbeda konsep dengan pendahulunya, juga dianggap sebagai pembela lafaz (min aṣḥāb al-lafz). Hal itu karena ia pernah mendefinisikan keindahan kalam dengan narasi-narasi yang mengarah kepada lafaz. Misal ia pernah mengatakan sesuatu yang sudah umum diketahui: “Makna-makna itu berserakan di jalan. Dapat diketahui oleh orang Arab maupun non-Arab, orang kota maupun desa. (Yang menjadi ukuran keindahan) itu terletak pada wazan, pemilihan lafaz, mudahnya suara (makhraj)” (al-Jahidz, 1424 H.: 3/67). Dari sini dapat diketahui adanya kecenderungan al-Jahidz kepada lafaz (Dersevi, 2023: 767).
Syauqi Dlaif (1995: 52) sebagaimana dikutip oleh Al-Ghautsani (2019: 147) mengatakan bahwa perhatian al-Jahidz terhadap keindahan lafaz membuatnya lebih mendahulukan lafaz dari pada makna. Ia berpandangan bahwa i’jāz tak dapat diakses kecuali menggunakan pendekatan naẓm. Namun, menurut Abdul Aziz Arafah (1985: 176), naẓm perspektif al-Jahidz berbeda dengan naẓm perspektif al-Jurjani yang datang belakangan. Naẓm perspektif al-Jahidz adalah susunan huruf dan lafaz, keserasian penggabungannya dan kegayutan bunyinya, sehingga menjadi ringan (diucapkan) sekan-akan seperti satu huruf. Lafaz-lafaznya yang tersusun melandai indah dan mudah diucapkan oleh lisan seakan-akan hanya terdiri dari satu lafaz (al-Ghautsani, 2019: 147-148). Dari pemahaman ini dapat dilihat adanya kecenderungan al-Jahidz mendahulukan lafaz dari pada makna.
Pandangan Kritikus Arab Klasik
Setelah perdebatan tentang terminologi lafaz dan makna sempat menjadi pembahasan di kalangan mutakallimin dari Muktazilah dan Asy’ariyah, para ulama juga mendebatnya dalam perspektif kritik sastra sebagai yang terlepas dari dimensi teologis meski tidak sepenuhnya dapat dipisahkan. Pada dasarnya, perdebatan tentang lafaz dan makna perspektif naqd yang banyak mengambil objek kajian syair-syair Arab juga berkelindan dengan pembahasan tentang aspek kemukjizatan Al-Qur’an. Oleh karenanya, dalam pembahasan lafaz dan makna, para kritikus Arab klasik ada yang kajiannya fokus kepada syair-syair Arab, ada pula yang fokus kepada pembahasan mengenai aspek kemukjizatan Al-Qur’an (Dersevi, 2023: 767).
Sejak abad ke-3, karya-karya kritikus Arab klasik tentang balāgah dan naqd selalu menyinggung dialektika lafaz dan makna. Hal tersebut karena dimensi naqd memang merupakan ranah ‘penilaian’ terhadap karya-karya sastra melalui penjelasan aspek keindahan dan kekurangannya, atau membandingkan antar karya sastra mengenai mana yang lebih unggul di antaranya. Pembahasan seperti ini tentu harus berdasar pada berbagai perspektif untuk menghasilkan kriteria atau standar penilaian yang rinci dan mendalam di dalam memandang suatu karya sastra. Dari sinilah kemudian dialektika lafaz dan makna menjadi pembahasan serius di kalangan kritikus Arab klasik.
Pertanyaan mendasar tentang terminologi lafaz dan makna berkisar pada: apa yang membedakan antara teks sastra dengan yang lainnya? Di manakah letak keindahan teks sastra? Apakah pada lafaznya dengan berbagai irama bunyi dan nadanya, ataukah pada kedalaman makna dan keluhuran dilalahnya? (Dersevi, 2023: 767).
Sebagaimana pada bagian sebelumnya, banyak yang menggolongkan al-Jahidz sebagai kritikus dari kalangan Muktazilah yang lebih mengagungkan lafaz dari pada makna. Di samping karena ada dugaan aspek teologis yang mendasari pandangan tersebut, hal itu juga karena al-Jahidz sendiri pernah mengatakan bahwa makna-makna berserakan di jalan (maṭrūḥah fī al-ṭarīq); dapat dipahami oleh orang Arab maupun non-Arab. Keunggulan sebuah kalam, menurutnya, terdapat dalam lafaz yang lugas (jazālah al-lafz), pemilihannya yang tepat, artikulasi yang baik (makhraj), kesesuaian wazan (iqāmah al-wazn), dan bentuk yang tepat (ṣiḥḥah al-ṭab’).
Pernyataan al-Jahidz di atas dapat dipahami bahwa menurutnya, makna sebuah kalam atau teks sastra bersifat komunal, umum, dan bisa diakses oleh semua orang di ‘jalanan’; tak ada yang istimewa pada makna. Sedangkan yang membuat sebuah kalam atau teks sastra memiliki keindahan dan keistimewaan adalah bentuknya yang indah dan pemilihan lafaznya yang tepat. Statemen inilah yang kemudian membuat para tokoh dan kritikus setelahnya mengelompokkan al-Jahidz sebagai bagian dari aṣḥāb al-lafz.
Pernyataan al-Jahidz ini sebenarnya masih menuai kontroversi. Sekilas tampak al-Jahidz lebih mendahulukan lafaz dari pada makna, namun tidak bisa dikatakan demikian juga. Al-Jahidz mengatakan demikian dalam konteks menanggapi Abu Amr al-Syaibani yang terlalu berlebihan dalam mendeskripsikan makna sehingga seakan-akan hanya makna-lah yang membuat suatu kalam menjadi unggul dari kalam yang lain (Dersevi, 2023: 768).
Mahmud Razayqiyah (2019: 386) menyebutkan bahwa sebenarnya ada beberapa pernyataan al-Jahidz yang lain yang pernah dihadirkan para kritikus untuk membuktikan keberpihakan al-Jahidz kepada lafadz, meski bukti-bukti tersebut masih terus bergulir dalam perdebatan. Di antaranya adalah pandangannya tentang ketidakmungkinan puisi untuk diterjemah atau dialihbahasakan. Al-Jahidz berkata: “Puisi itu tak mungkin bisa diterjemah dan tak boleh dialihbahasakan. Ketika hal itu dilakukan, maka gugurlah naẓm-nya, rusak wazannya, hilang keindahannya, dan teranulir titik keistimewaannya.” (al-Jahidz, 1424 H.: 1/53).
Ada pula pernyataan lain di dalam al-Bayān wa al-Tabyīn yang menunjukkan bahwa lafaz memiliki sifat-sifat yang disukai oleh jiwa: “Ketika suatu lafaz indah dengan sendirinya, terpilih di antara jenisnya, selamat dari berlebihan, dan terbebas dari ta’qīd, maka ia disukai oleh jiwa, bersambung dengan pikiran, melekat di dalam akal, digandrungi oleh pendengaran, membawa ketenangan dalam hati, ringan di lisan para periwayat, dan mudah diingat.” (al-Jahidz, 1423 H.: 2/7).
Pernyataan-pernyataan al-Jahidz seperti di atas -yang sebenarnya masih banyak lagi- memang menjadi bukti tak terbantahkan bahwa ia sangat perhatian kepada aspek lafaz, menempatkannya pada posisi yang penting pada sebuah kalam. Namun tidak pula pernyataan-pernyataan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mengatakan bahwa al-Jahidz menampik makna atau menganulir keistimewaannya (Razayqiyah, 2019: 388).
Sampai di sini kemudian para kritikus masih terus berada dalam perdebatan tentang posisi al-Jahidz dalam terminologi lafaz dan makna. Ada yang mengatakan bahwa al-Jahidz termasuk aṣḥāb al-lafẓ, ada pula yang mengatakan bahwa al-Jahidz berada di posisi keduanya, dalam artian sama-sama menganggap penting terhadap lafaz dan makna secara bersamaan seperti jasad dan ruh yang tak bisa dipisahkan dan sama-sama penting, atau yang disebut dengan al-musyākalah dan al-muṭābaqah (Jam’i, 2001: 43-44).
Pandangan yang hampir sama muncul dari Abu Hilal al-Askari (w. 395 H.) pemilik al-Furūq al-Lugawīyah dan al-Ṣinā’atain. Al-Askari pernah menyampaikan: “Di antara bukti yang menunjukkan bahwa poros balaghah itu terdapat pada lafaz yang bagus (taḥsīn al-lafẓ) adalah bahwa khotbah-khotbah dan puisi-puisi yang indah itu tidak dilihat dari maknanya saja yang bagus -sebab terkadang ada lafaz yang jelek (radī’) tapi mampu memberikan pemahaman yang baik terhadap makna-, melainkan (juga) dilihat dari kalamnya yang bagus, bentuknya yang kokoh, lafaznya yang ‘berkilau’, tampangnya yang baik, potongannya yang bagus, wajahnya yang indah, dan bangunannya yang menakjubkan... Sifat-sifat seperti ini kebanyakan kembali kepada lafaz, bukan makna.” (al-Askari, 1971: 61).
Meski pada pernyataan di atas al-Askari memuji-muji lafaz, namun ia tidak menampik adanya peran makna di dalam sebuah kalam. Pada bagian sebelumnya, al-Askari (1971: 59) menulis: “Kalam itu menjadi baik dengan kehalusannya, kemudahannya, kejelasannya, ketepatan pemilihan lafaznya, kebenaran maknanya, kebagusan wajahnya, kelenturan bentuknya, keserasian pembagiannya, keseimbangan ujung-ujungnya, kesamaan awalan dan akhirannya....”
Pada deskripsi di atas, al-Askari menyebutkan ketepatan/kebenaran makna (iṣābah al-ma’nā) sebagai bagian yang membentuk suatu kalam menjadi baik dan indah. Penyataan ini memberikan klarifikasi bahwa meski Abu Hilal al-Askari mengikuti pendahulunya, yaitu al-Jahidz, dalam memandang dan memberikan porsi utama bagi lafaz, namun sejatinya ia tidak mengesampingkan aspek makna. Ia berpandangan bahwa aspek yang membutuhkan kemampuan untuk menyusun sebuah kalam yang indah terletak pada susunan lafaz dalam mengungkapkannya (ta’bīr). Baginya, makna adalah sesuatu yang ada dan tersimpan di dalam pikiran. Kalam yang baik adalah kalam yang memiliki makna yang benar (iṣābah/ṣawāb). Maka untuk mengungkapkan makna yang ada di dalam pikiran tersebut perlu adanya pengerahan usaha (bażl juhd) di dalam menyusun lafaz-lafaz agar mampu memunculkan nilai-nilai estetika dan menjadi sebuah kalam bālig (Dahmani, 2013: 253; Lakehal, 2023: 699).
Pandangan ini dipertajam oleh Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah-nya. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya yang membedakan antara satu penyair dan penyair lainnya adalah kemampuan dan naluri berbahasa (malakah lugawīyah) untuk mengungkapkan makna dengan lafaz-lafaz yang baik dan indah. Ia juga menegaskan bahwa pembentukan kalam menjadi prosa atau puisi terletak pada lafaz, bukan makna. Ada kalanya dua kalam berbeda memiliki makna yang sama: kalam pertama berbentuk puisi dengan bahasa yang indah, dan kalam kedua berbentuk prosa dengan bahasa sederhana. Perbedaaan keduanya terletak pada aspek lafaz. Seorang penulis yang berusaha mengembangkan malakah lugawīyah-nya sejatinya ia mengembangkan cara mengungkapkan lafaz-lafaz yang baik dan indah (Khaldun, 1988: 1/795).
Ibnu Khaldun kemudian membuat ilustrasi keindahan bahasa dan balaghah dengan air laut dan wadah yang menampungnya. Baginya, makna adalah air laut, sedangkan lafaz adalah wadah yang digunakan untuk menampungnya. Airnya sama, namun yang membedakan adalah wadah. Wadah ada yang terbuat dari emas, perak, kaca berlian, dan ada pula yang terbuat dari plastik dan bahan sederhana. Demikian lafaz dan makna. Makna sama, namun yang membuat kalam menjadi indah adalah lafaznya (Khaldun, 1988: 1/795).
Selain al-Jahidz dan Abu Hilal al-Askari, al-Rummani (w. 384 H.) juga dipandang sebagai bagian dari anṣār al-lafẓ. Hampir sama dengan al-Jahidz, al-Rummani juga dari kalangan Muktazilah yang pernah mengatakan bahwa keindahan balaghah terletak pada lafaz. Ia pernah menyampaikan: “Balaghah itu tidak terletak pada bagaimana memberikan pemahaman terhadap suatu makna. Sebab, terkadang ada dua orang yang saling memahami dalam suatu obrolan, salah satunya bālig (fasih) dan satunya ‘aiy (tidak fasih). Tidak pula balaghah itu terletak pada lafaz yang dapat mengantarkan kepada makna, sebab ada kalanya lafaz dapat menunjukkan suatu makna namun (bentuknya) jelek, berlebihan dan dipaksakan. Balaghah itu menyampaikan makna kepada hati (mukhāṭab) dengan bentuk lafaz terbaiknya.” (al-Rummani, 1976: 76).
Pada dasarnya, kalangan yang dianggap sebagai pembela lafaz juga masih berada pada tataran perdebatan. Jika sebagian kritikus dan peneliti kontemporer menggolongkan orang-orang seperti al-Jahidz dan al-Askari sebagai pembela lafaz, namun sebagian yang lain tidak sepenuhnya mengatakan demikian. Di antara peneliti tersebut ada yang menganggap bahwa al-Jahidz dan al-Askari masih menaruh perhatian yang lebih kepada makna sebagai penyeimbang lafaz yang sebelumnya sudah mereka beri porsi yang lebih besar.
Selain anṣār al-lafẓ, perdebatan tentang dualisme lafaz dan makna juga muncul dari kalangan yang dianggap sebagai pembela makna (anṣār al-ma’nā). Kalangan ini tentunya berbeda pandangan dengan para pembela lafaz yang kebanyakan dari Muktazilah.
Pembela makna mengajukan argumentasinya dengan mengatakan bahwa lafaz tidak akan memiliki nilai apa-apa tanpa adanya makna yang dikandungnya. Abu Amr al-Syaibani lah yang mula-mula dianggap sebagai pembela makna, yang kemudian dikonter dan di-mention oleh al-Jahidz di dalam al-Ḥayawān (3/67) sehingga keduanya dianggap bertentangan. Al-Syaibani sebagai pembela makna, sedangkan al-Jahiz pembela lafaz.
Termasuk yang dianggap sebagai anṣār al-ma’nā adalah Abu al-Qasim al-Amadi (w. 370 H.). Ia menulis buku al-Muwāzanah yang membandingkan antara puisi Abu Taman dan al-Buhturi. Dalam melakukan perbandingan tersebut, al-Amadi meletakkan makna sebagai kriteria pertama yang harus diutamakan meskipun tidak juga menganulir adanya peran lafaz. Bagi al-Amadi, ketika suatu kalam atau puisi memiliki makna yang tinggi (ma’nā syarīf), maka kalam tersebut tak dapat dibilang jelek sekalipun tersusun menggunakan lafaz yang lemah. Menurut al-Amadi, makna-lah yang membuat Umru al-Qais menjadi penyair unggul pada masanya. Jika bukan karena puisi-puisinya memiliki makna yang halus, niscaya Umru al-Qais sama seperti penyair-penyair lain pada zamannya (Dersevi, 2023: 770). Bahkan, dalam al-Muwāzanah, al-Amadi mengatakan dengan terang-terangan: “Ketepatan (ṣiḥḥah) susunan lafaz (ta’līf) dalam puisi menjadi tiang terkuat setelah ketepatan makna.” (al-Amadi, 1994: 428).
Lebih fanatik dari al-Amadi, Ibnu Jinni (w. 392 M.) juga dianggap sebagai pembela makna. Ibnu Jinni memandang bahwa penyair-penyair Arab dituntut untuk memahat lafaz-lafaz dengan indah, memilih diksi-diksi dengan tepat, dan memperhatikan aspek-aspek kefasihan dalam menyusun ta’bīr, tidak lain karena bertujuan mencapai makna yang bagus (syarīf) dan sebagai pelayan baginya. Ibnu Jinni berpandangan bahwa lafaz tidak lebih dari sekedar wasilah untuk sampai kepada makna yang menjadi tujuannya. Sebuah kalam dalam bentuk puisi yang ditulis oleh seorang penyair memiliki makna yang lebih mendalam dan lebih melekat pada jiwa dari pada kalam dalam bentuk prosa biasa. Upaya untuk menciptakan puisi yang indah tujuannya adalah makna; agar makna yang disampaikan lebih menyentuh hati pembaca atau pendengar (Jinni, 1431 H.: 216; Dersevi, 2023: 770).
Pembelaan terhadap makna dengan argumentasi yang tak jauh berbeda juga muncul dari al-Syarif al-Radli (w. 406 H.) dan Ibn al-Atsir (w. 637 H.). Pandangan kritikus-kritikus ini sebenarnya masih bergulir dalam perdebatan. Dalam satu sudut pandang mereka memang tampak mengutamakan makna dari pada lafaz, namun dalam sudut pandang yang lain, bukan berarti mereka menganulir lafaz dan menafikan perannya.
Berbeda dengan dua kelompok anṣār al-lafẓ dan anṣār al-ma’nā di atas, beberapa kritikus justru memandang bahwa lafaz dan makna sama-sama penting dan setara. Ibnu Qutaibah (w. 276 H.) dan Qudamah bin Ja’far (w. 337 H.) adalah di antara yang berpandangan demikian. Baik dan buruknya suatu kalam bergantung kepada hubungan keduanya secara setara: makna harus baik, lafaz pun juga demikian. Segala unsur yang berkaitan dengan lafaz sebagai bangunan luar yang terdiri dari lafaz itu sendiri, metrum, sajak, rima atau qāfīyah harus menyesuaikan dengan makna (alā miqyās al-ma’nā) dengan tidak menambah atau menguranginya (Dersevi, 2023: 771). Jika ada suatu kalam yang secara bangunan memiliki bentuk yang indah, bermetrum dan bersajak, namun tidak mampu menggambarkan makna secara identik, maka kalam itu tidaklah pantas disebut kalam yang bagus. Demikian pula sebuah kalam yang memiliki makna detail dan identik, namun tidak tersusun dalam bentuk yang indah, maka tidak pula layak disebut kalam yang bagus.
