Dualisme Lafaz dan Makna: Perdebatannya di Kalangan Ulama I’jāz dan Kritikus Arab Klasik (1/3)
Table of Contents
Abstract: Discussions on the aesthetic aspects of kalām or expression have led classical Arab critics to debate the dualism of lafẓ and ma'nā. The debate centers on whether the beauty of an expression lies in its wording, its meaning, or in both simultaneously. This debate historically intensified with discussions on the miraculous aspects of the Qur'an, which eventually gave rise to the science of balaghah around the 2nd to 5th centuries CE. Using a literature review and qualitative descriptive approach as its methodology, this article explores the debate on the dualism of lafẓ and ma'nā among the scholars of i'jāz and classical Arab critics. The literature review is employed to investigate the primary sources from classical critics, combined with perspectives from modern critics and researchers to achieve a more comprehensive and in-depth understanding. The findings of this study reveal that in the debate on the dualism of lafẓ and ma'nā, there are groups that defend lafẓ (known as anṣār al-lafẓ), groups that defend ma'nā (known as anṣār al-ma’nā), and groups that advocate for both simultaneously. Amidst this debate, Abdul Qahir al-Jurjani offers a distinct viewpoint through his theory of naẓm, which posits that the beauty of an expression lies in its arrangement according to the meaning within the mind (ma’ānī fī al-nafs).
Keywords: Lafẓ and ma'nā, i’jāz Al-Qur’an, Arabic literary criticism.
Pendahuluan
Dalam
sejarahnya, keilmuan bahasa Arab terumuskan secara bertahap sejak beberapa
periode pasca Al-Qur’an diturunkan. Sebelumnya, tidak ada perumusan-perumusan
apapun tentang kaidah-kaidah bahasa Arab di kalangan penyair kala itu. Bahkan,
pada permulaan Islam hingga berakhirnya masa sahabat, bahasa Arab belum juga
memiliki kaidah keilmuan secara teoretis yang mengatur tuturan-tuturan dan menjadi
pijakan dalam berbahasa. Hal tersebut lantaran orang-orang Arab sendiri tidak
membutuhkan kaidah-kaidah itu. Orang Arab adalah pemilik bahasanya sendiri.
Dalam berbahasa, mereka menggunakan zauq, malakah dan salīqah
yang secara otomatis sudah tertanam dalam jiwanya (Jnaidi, 2023: 288).
Kemunculan dan
keberadaan keilmuan bahasa Arab baru dimulai pasca masa sahabat. Salah satu
faktor perumusannya adalah adanya berbagai kesalahan (laḥn) yang
berkembang akibat percampuran peradaban, budaya dan bahasa sehingga sedikit
banyaknya mendegradasi keaslian bahasa Arab dan dikhawatirkan akan menggerus
bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an (al-Khairuni, 2018: 1). Dari sini dapat
dilihat bahwa Islam dan Al-Qur’an menjadi faktor besar terhadap kemunculan dan
keberadaan keilmuan bahasa Arab secara teoretis yang hingga saat ini masih
terus berkembang. Maka dirumuskanlah ilmu nahwu dan sharaf sebagai ilmu tata
bahasa Arab (al-Thanthawi, 2005: 16). Kemudian berkembang lagi kepada ilmu-ilmu
adab, termasuk ilmu arūḍ-qawāfī, ilmu balaghah,
dan ilmu-ilmu lainnya.
Pada tahapan
berikutnya, seiring perkembangan Islam, Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang
diturunkan menggunakan bahasa Arab mulai masuk pada ranah yang diperdebatkan.
Sejak awal diturunkan, Al-Qur’an sudah memiliki pola-pola kemukjizatan yang
dapat melemahkan kemampuan manusia. Hal tersebut terbukti oleh adanya ayat-ayat
taḥaddī sebagai tantangan kepada manusia untuk mendatangkan sesuatu yang
menyamai Al-Qur’an. Namun, pola-pola kemukjizatan ini mulai diperdebatkan.
Pasalnya, para ulama mempertanyakan mengenai aspek kemukjizatannya: di manakah aspek kemukjizatan itu? Apa yang
membuat Al-Qur’an menjadi tak tertandingi oleh karya-karya manusia? Apakah
aspek itu terletak inhern di dalam Al-Qur’an itu sendiri ataukah ada hal lain
di luarnya yang menjadikannya memiliki daya i’jāz? Pembahasan seperti ini
tidak boleh tidak membawa para pengkajinya memasuki ranah bahasa dan sastra
yang kemudian melahirkan keilmuan baru yang disebut ilmu balaghah.
Perdebatan
tentang aspek kemujizatan menjadi perbincangan serius di kalangan ulama sejak
abad ke-2 Hijriyah. Ada yang mengatakan kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada
aturan-aturan syariat yang kekal (al-syarī’ah al-khālidah). Ada pula
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an sebagai mukjizat terdapat pada aspek adanya berita-berita
gaib yang tertera di dalamnya. Demikian pula ada yang berpendapat bahwa
kemukjizatan Al-Qur’an tidak ada pada ‘dirinya’ sendiri secara intern,
melainkan karena adanya ṣarfah, yaitu kehendak dan kekuasaan Allah yang
sengaja membuat para penentangnya menjadi tak berdaya di hadapan Al-Qur’an.
Namun aspek kemukjizatan yang hampir disepakati oleh kalangan ulama adalah
aspek bahasa dan sastra (faṣāḥah-balāgah) (Bintussyathi’, 2018: 80) yang
kemudian melahirkan pembahasan dan perdebatan panjang di kalangan ulama. Aspek
ini kerap juga disebut i’jāz bayānī.
Salah satu
perdebatan yang cukup serius di kalangan ulama i’jāz terkait
kemukjizatan Al-Qur’an adalah terminologi dualisme lafaz dan makna. Perdebatan
ini pada dasarnya melampaui beberapa sudut pandang yang tidak hanya
dilatarbelakangi oleh aspek kebahasaan saja, namun juga dilatarbelakangi oleh
aspek-aspek lain seperti filsafat dan teologi.
Metode
Penelitian
Artikel ini berangkat
dari pendekatan kajian pustaka dengan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan
pembacaan mendalam terhadap karya-karya utama dari para ulama i’jāz dan
kritikus Arab klasik, artikel ini membahas dualisme lafaz dan makna serta
perdebatannya di kalangan ulama klasik. Kajian pustaka digunakan untuk
menyelidiki sumber-sumber utama dari abad ke-2 hingga sekitar abad ke-5. Selain
itu, perspektif kritikus dan peneliti modern juga dijadikan referensi untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif atas pembacaan
terhadap topik ini.
*Artikel ini terpublikasi pada Journal of Arabic Studies and Teaching Vol. 4, No. 1.
